MK Tolak Uji Formil Syarat Usia Capres, Ini Alasan 2 Hakim Mengungkapkan Pendapat Setuju

indotim.net (Selasa, 16 Januari 2024) – MK menolak permohonan uji formil terkait batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Keputusan ini diambil terhadap gugatan yang diajukan oleh Denny Indrayana dan pengajar UGM, Zainal Arifin Mochtar. Ketua MK, Suhartoyo, mengumumkan amar putusan ini di Gedung MK pada hari Selasa (16/1/2024) dan disiarkan melalui Chanel YouTube MK.

Dalam petitumnya, Denny dan Zainal mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan bahwa pembentukan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagaimana diinterpretasikan dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Terhubung dengan ini, Denny dan Zainal juga berharap agar penyelenggara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mencoret peserta Pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan perubahan tersebut.

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak alasan tersebut karena telah sebelumnya mengadili masalah serupa dan hasilnya ditolak.

“Jika terhadap putusan Nomor 90 yang telah dinyatakan sebagai putusan final dan memiliki kekuatan hukum mengikat, dapat dilakukan permohonan pengujian kembali di Mahkamah Konstitusi maupun melalui perubahan undang-undang (legislative review),” ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hakim Arief Hidayat mengemukakan concurring opinion atau pendapat yang sejalan dalam pertimbangan hukum, namun bukan merupakan putusan akhir. Beliau setuju untuk menolak gugatan tersebut, tetapi juga menyatakan perlunya forum di MK untuk menguji secara formil putusan MK tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki sifat final dan mengikat jika diputuskan dalam kondisi normal. Namun, jika putusan tersebut dibuat dalam kondisi abnormal, seperti terdapat pelanggaran etik dalam proses putusan, maka putusan MK tidak akan bersifat final dan mengikat.

READ  Mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dan Istrinya Disangka Menerima Suap

Selain itu, Arief Hidayat juga memberikan pandangannya terkait kemungkinan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk menganulir penggantian Ketua MK Anwar Usman dengan Suhartoyo.

“Saya merasa perlu untuk mengusulkan pengujian formal terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yang tentunya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri dalam situasi yang tidak normal. Saya melakukannya dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman konstitusionalisme melalui penelitian ilmiah dan perluasan pengetahuan, terutama dalam bidang hukum,” ujar Arief Hidayat.

Sehubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hakim konstitusi Enny Nurbaningsih juga menyampaikan pendapat yang setuju (concurring opinion). Sementara itu, hakim konstitusi Anwar Usman tidak ikut dalam persidangan karena penggugat telah mengajukan pengecualian terhadapnya.

Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil terkait batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diajukan oleh Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Dalam putusan MK, hakim Arief Hidayat menunjukkan pendapat sejalan dalam pertimbangan hukum tetapi juga menyatakan perlunya forum di MK untuk menguji secara formil putusan MK tersebut. Meskipun putusan MK memiliki sifat final dan mengikat dalam kondisi normal, jika terdapat pelanggaran etik dalam proses putusan, maka putusan MK tidak akan bersifat final dan mengikat.