indotim.net (Selasa, 16 Januari 2024) – Sekali lagi fakta lapangan menjawab bahwa noise atau mereka yang berisik belum tentu menjadi pilihan, namun mereka yang diam suaranya menggelar menuju kotak suara (voice), hal itu yang terjadi dalam dinamika menuju pemilihan presiden kita. Setidaknya dalam empat bulan terakhir, melihat tren suara Prabowo-Gibran yang semula pernah bersaing ketat dengan Ganjar, sekarang mengalami peningkatan suara.
Tak tanggung-tanggung, dari 10 lembaga survei kredibel, 9 di antaranya menyatakan bahwa Prabowo-Gibran unggul terpaut 10%-22% dari kompetitornya, Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin (AMIN).
Siapakah mayoritas yang diam di belakang Prabowo-Gibran?
Faktor apa yang dapat menjawab pertanyaan tersebut? Meskipun serangan-isu negatif terus-menerus menyerang Prabowo-Gibran seperti hujan deras, namun serangan-serangan tersebut tidak berhasil mengurangi dukungan mereka. Bahkan, dukungan tersebut semakin melonjak seperti banjir yang menghancurkan Sodom dan Gamorah. Mengherankan, serangan-serangan tersebut tidak menyebabkan arus dukungan mereka menurun, justru semakin naik hingga berada pada level yang kuat.
Penyebabnya adalah dukungan mayoritas yang diam, juga disebut sebagai the silent majority. Selain alasan tersebut, terdapat faktor lain yang menguatkan elektabilitas Prabowo-Gibran.
Faktor pertama adalah semakin konsolidasinya pemilih yang sebelumnya mendukung Ganjar namun beralih ke Prabowo-Gibran. Selanjutnya, peran Gibran yang mampu memperoleh dukungan dari kalangan anak muda juga berpengaruh positif terhadap elektabilitas mereka.
Selain itu, terjadi juga keterbelahan dalam dukungan di wilayah penting seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dukungan kepada Ganjar terpecah di Jawa Tengah, dan terpecah pula dukungan antara Gus Imin dan Mahfud di Jawa Timur. Kondisi ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti pengaruh NU dan pernyataan dukungan dari Khofifah Indar Parawansa terhadap Prabowo-Gibran.
Terlepas dari itu semua, masih belum terjawab siapa sebenarnya mereka yang disebut sebagai the silent majority di balik elektabilitas Prabowo-Gibran. Mereka tidak terdengar atau terlihat di media atau media sosial, namun istilah the silent majority telah berkembang sejak sistem pemilihan terbuka diterapkan dalam rezim politik. Meskipun secara populer baru digemakan oleh Waren G. Harding pada pemilihan presiden Amerika tahun 1920.
Dan mencapai puncaknya, menurut Denny JA dibuku “Merenungkan Pemilu Presiden (2019)”, diantarkan oleh Richard Nixon, pada tanggal 03 November 1969 saat Nixon berpidato sebagai Presiden Amerika Serikat terpilih, pada tahun itu Nixon menumbangkan petahana dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Hubert Humprey, dalam pidatonya Nixon berujar:
Selama ini, Anda semua seolah diabaikan. Selama ini, Anda semua dikalahkan oleh massa yang aktif, yang jumlahnya sebenarnya hanya minoritas saja. Namun, Anda lah yang lebih menentukan masa depan Amerika.
Namun istilah ‘the silent majority’ memiliki makna yang berbeda di berbagai belahan dunia. Misalnya, saat era Nixon di Amerika Serikat, istilah ini menggambarkan perlawanan terhadap dominasi rezim yang sedang berkuasa. Di Inggris pada tahun 2016, istilah ini mencerminkan keinginan untuk keluar dari Uni Eropa. Sementara di Katalonia, istilah ini menggambarkan keinginan mayoritas untuk mendukung gerakan kemerdekaan Catalan yang ingin berpisah dari Spanyol. Jauh sebelumnya, ‘the silent majority’ juga digunakan dalam konteks penolakan atau dukungan terhadap ideologi tertentu.
Di Indonesia, ‘the silent majority’ menggambarkan segmen pemilih tertentu dan preferensi pemilih tertentu terhadap isu-isu pilihan kandidat. Meskipun mereka pasif dalam perdebatan di ruang publik, mereka adalah pembaca yang diam-diam tapi baik.
Di pemilu presiden 2024? Jika merujuk survei LSI Denny JA Desember 2023, mereka adalah kalangan wong cilik yang tinggal di kota atau desa yang belum terlalu maju.
Mayoritas mereka tidak menyukai berita politik dan juga tidak berbicara di ruang publik. Mereka biasanya hanya menerima pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau SD (Sekolah Dasar), namun persentase mereka mencapai 60,1%. Selain itu, mereka yang berpendapatan tidak lebih dari dua juta rupiah per bulan juga mencapai 46%.
Mengapa The Silent Majority Mendukung Prabowo Gibran?
Klaim dukungan mayoritas yang diam itu, tercermin dalam opini publik yang diperoleh dari survei LSI Denny JA pada Desember 2023. Dalam kategori ekonomi (pendapatan), Prabowo-Gibran berhasil mencatatkan keunggulan tertinggi di segmen wong cilik (pendapatan di bawah Rp 2 juta/bulan) dengan dukungan sebesar 45,9%.
Pada kategori pendidikan, Prabowo-Gibran juga menunjukkan keunggulan mereka dibandingkan dua kompetitornya. Mereka mampu unggul di semua segmen pendidikan, baik dari pendidikan tingkat dasar dan menengah, maupun pendidikan tingkat atas. Namun, yang menarik perhatian terdapat pada segmen Tamat SD ke bawah dan Tamat SMP, di mana Prabowo-Gibran berhasil meraih persentase sebesar 47,3%. Angka ini semakin memperbesar selisih kemenangan mereka, dengan selisih mencapai 21% hingga 25% dari dua kompetitornya Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin.
Terbagi menjadi dua realitas yang membentuk dukungan kuat dari ‘the silent majority’ terhadap Prabowo-Gibran. Pertama, realitas yang tak berubah yaitu adanya kemajuan signifikan dalam pembangunan infrastruktur dan program-program populis yang memberikan manfaat langsung, seperti BPJS, Kartu Indonesia Pintar, BLT, KUR, dan kartu pra-kerja.
Realitas yang tidak berubah ini adalah hasil dari kontribusi Rezim Jokowi yang mendapat apresiasi tinggi dengan tingkat kepuasan pemerintahan sebesar 75%-81% (approval rating). Hal ini memberikan keuntungan bagi Prabowo Gibran karena mereka sangat terkait erat dengan Jokowi.
Realitas kedua adalah realitas yang berubah, realitas ini terbentuk akibat perubahan narasi dan strategi kampanye para kandidat. ‘The silent majority’ (mayoritas yang diam) juga merupakan ‘silent reader’ (pembaca yang diam) yang baik. Meskipun tidak bersuara, mereka muak akan orkestra dari sentimen-sentimen pribadi yang penuh kebencian dan penyebaran berlebihan hoax.
Militansi dan agresivitas yang ditampilkan tim kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, justru menjadi semacam senjata makan tuan, yang justru menggerogoti suara mereka sendiri.
Hal ini berdasar. Sebab, demokrasi kita belum terlalu siap, menerima adaptasi baru yang begitu agresif saling serang seperti di Eropa Barat atau Amerika Serikat.
Survei LSI Denny JA pada tahun 2009 menemukan bahwa 60,5% publik Indonesia tidak simpatik dengan calon presiden yang sering menyerang. Contohnya adalah kasus kekalahan Megawati Soekarnoputri dari Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Saat itu, Megawati menggunakan label ‘SBY anak kecil’ untuk mendapatkan simpati, namun justru mendatangkan lebih banyak suara bagi SBY yang kemudian memenangkan pemilihan presiden pada tahun 2009.
Perubahan realitas politik saat ini telah membuat ‘the silent majority’ mempertimbangkan otentisitas dan konsistensi para kandidat dalam memenangkan hati pemilih mereka. Terdapat kebuntuan strategis dalam narasi yang diusung oleh Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, yang seringkali berubah-ubah dari tema keberlanjutan menjadi perubahan, dari apresiasi terhadap pemerintah menjadi kritik terhadap pemerintah, serta dari konsistensi pada substansi menjadi lebih fokus pada sensasi-sensasi yang menarik.
Kesemua itu menjadi perhatian publik. Bahkan, wacana upaya kawin paksa antara Anies-Ganjar atau Ganjar-Anies di putaran kedua tanpa prakondisi dari perspektif pemilih adalah bentuk kebuntuan strategis. Hal ini tidak mempertimbangkan bahwa reaksi pemilih keduanya sangat berbeda. Seolah-olah mereka lupa bahwa disiplin koalisi bukan hanya tentang perhitungan taktis pragmatis dari elit, tetapi juga melibatkan semua entitas pendukungnya dalam satu gerbong pertarungan. Ini bertujuan agar kandidat capres tetap memiliki harga diri yang kuat.
Ketika mendukung pilihan lain, mayoritas pemilih tetap setia, tidak beralih ke arah yang berbeda.
Ikrama Masloman adalah seorang Peneliti Senior dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA).
Setelah melalui serangkaian survei dan pemetaan derasnya geliat politik menjelang Pemilihan Presiden berikutnya, terlihat seakan-akan ada magnet kuat yang menjaga elektabilitas Prabowo-Gibran. Kedua calon tersebut mendapatkan sokongan yang signifikan dari apa yang disebut sebagai ‘The Silent Majority’.
‘The Silent Majority’, atau ‘Mayoritas Bisu’ dalam bahasa Indonesia, merujuk pada sekelompok besar masyarakat yang tidak terlalu vokal secara politik, namun memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Mereka umumnya tidak hadir dalam berbagai kampanye dan aksi massa, namun memiliki kekuatan besar dalam menentukan hasil pemilihan.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa ‘The Silent Majority’ menjadi penentu yang kuat dalam elektabilitas Prabowo-Gibran. Pertama, mereka adalah kelompok yang cenderung tidak terpengaruh oleh propaganda politik atau pemberitaan media mainstream. Mereka lebih mengandalkan penilaian pribadi dan pengalaman langsung dalam membuat keputusan politik.
Kedua, ‘The Silent Majority’ juga cenderung bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, baik yang diambil oleh pemerintah pusat maupun daerah. Mereka lebih mengutamakan pemikiran rasional dan kepentingan jangka panjang dengan mengabaikan retorika populis atau janji-janji manis yang seringkali terlontar dalam kampanye politik.
Ketiga, kehadiran ‘The Silent Majority’ juga dikaitkan dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Meskipun cenderung tidak terlibat secara aktif dalam kampanye politik, mereka akan menggunakan hak suara mereka untuk memberikan mandat kepada kandidat yang mereka nilai paling layak dan mampu memimpin.
Dalam hal ini, kuatnya elektabilitas Prabowo dan Gibran dapat diatribusikan kepada kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan ‘The Silent Majority’. Mereka mampu merangkul kelompok ini dengan baik melalui pesan-pesan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Dalam konteks politik yang terus berkembang, keberadaan ‘The Silent Majority’ menjadi faktor yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan demokrasi yang sehat. Meskipun seringkali terlupakan atau terabaikan, suara mereka memiliki kekuatan besar untuk mengubah arah politik suatu negara.
Menilik fenomena ‘The Silent Majority’ ini, penting bagi para kandidat dan partai politik untuk tidak hanya berkonsentrasi pada kelompok pendukung yang vokal saja. Menggali potensi dan kebutuhan ‘The Silent Majority’ menjadi kunci dalam memenangkan dukungan rakyat secara menyeluruh.