indotim.net (Senin, 15 Januari 2024) – Edi Dimyati menatap kosong di depan 4000 buku yang tertata rapi di depannya. Sejak 13 tahun lalu berdiri, Taman Baca Masyarakat (TBM) Kampung Buku telah muncul dengan segudang karya dan aktivitas yang dilakukan oleh para pengunjung yang datang.
Ia mengakui, mendirikan serta merawat rumah baca bukanlah hal yang sederhana. Sejumlah pengorbanan dan usaha perlu dilakukan agar tujuan tetap berjalan. Ada kalanya ia terus dihantui kekhawatiran, mulai dari masa depan perpustakaan yang berdiri di lahan permanen, hingga raibnya buku-buku di tangan para peminjam. Meski demikian, Edi tak ingin kerisauannya ini mengikis mimpi masa kecilnya untuk membangun ruang literasi bagi masyarakat.
“Taman Baca Kampung Buku tidak hanya menyediakan buku, tetapi juga merupakan tempat silaturahim. Di sini, kita bisa bertemu dengan teman-teman yang memiliki minat yang sama terhadap buku. Selain itu, tempat ini juga menjadi wadah untuk berkreasi. Anak-anak maupun siapa pun dapat menuangkan karya mereka selama bersifat positif. Taman Baca Kampung Buku juga menjadi tempat yang sangat bermanfaat untuk mencari informasi. Misalnya, jika anak-anak di sekolah menemui pelajaran yang sulit atau tidak mengerti, mereka dapat berdiskusi di sini,” terang Edi Dimyati, pendiri Kampung Buku.
Edi bukanlah orang sembarangan. Hidupnya terus dipupuk mimpi untuk mendekatkan buku kepada anak-anak yang haus akan ilmu serta wawasan. Salah satu bentuk konsistensinya, Edi menempuh pendidikan di program studi Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas Padjajaran. Tidak hanya itu, guna menambah waktunya untuk merawat taman baca buatannya, ia memantapkan hati untuk berhenti dari bekerja kantoran, dan fokus mengurus Kampung Buku.
“Saya pernah bekerja di kantor juga. Namun pada praktiknya, ada perenungan dalam diri, apa yang saya cari, apa yang saya inginkan? Saya ingin menciptakan sesuatu yang bisa dikenang, atau melakukan aktivitas yang berdampak bagi masyarakat sekitar. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Ada hal-hal lain yang ingin saya dapatkan lebih banyak. Dulu, saya tidak bisa sepenuhnya terlibat dalam acara-acara yang berkaitan dengan Kampung Buku, tetapi sekarang saya bisa,” jelas Edi.
Keputusan Edi tidak selalu mendapat sambutan baik dari orang sekitarnya. Berbagai omongan negatif pun sering ia dengar, tapi Edi Dimyati tidak pernah hancur karena perkataan mereka. Setiap ejekan yang terdengar dijadikannya sebagai motivasi untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh Edi memiliki manfaat dan akan menghasilkan sesuatu yang tak ternilai dengan materi semata.
“Justru senang sih kalau saya dianggap seperti itu, jadi ada semangat lagi gitu ya. Pengen membuktikan lagi bahwa abnormal itu nggak selamanya negatif kan. Ada hal yang lain, kebahagiaan yang nggak bisa didapatkan dari materi kalau saya sih melihatnya,” tutur Edi.
Seiring berjalannya waktu, Kampung Buku yang didirikan oleh Edi semakin terkenal. Orang-orang dari berbagai daerah datang untuk berkunjung, baik untuk membaca buku maupun sekadar berbincang dengan sang pendiri. Di balik sambutan hangat yang diterima Edi, ada kekhawatiran baru terkait keberlanjutan bangunan Kampung Buku yang saat ini terancam oleh potensi longsor.
Banyak pengunjung tak menyadari bahwa permukaan tanah yang menopang Kampung Buku sangat rawan longsor. Kampung Buku berada di tebing kali Cipinang. Edi, salah seorang narasumber, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa selama musim penghujan, tanah yang menopang bangunan Kampung Buku, terutama bagian belakang bangunan, terus tergerus dan meningkatkan risiko terjadinya longsor.
Bahkan, baru-baru ini, tebing yang terletak di belakang rumah tetangga Edi sudah mengalami longsor. Oleh karena itu, Edi harus berpikir keras untuk mencegah longsor di tebing belakang Kampung Buku. Salah satu usaha yang dilakukan Edi adalah dengan menutup tanah di belakang Kampung Buku menggunakan terpal.
“Ini di balik terpal ini ya, ini ditutup ya sengaja nih, karena di dalamnya itu udah mulai tergerus tanahnya. Soalnya kalau misalkan terus tergerus, mengkhawatirkan dengan kondisi keamanan dari bangunan Taman Baca Kampung Buku. Mudah-mudahan bisa bertahan,” jelas Edi sembari menunjukkan titik rawan longsor di belakang taman bacanya.
Edi mengungkapkan bahwa hal yang paling dia khawatirkan di Kampung Buku saat ini adalah kemungkinan terjadinya longsor. Oleh karena itu, ia sangat mengharapkan bantuan dari berbagai pihak yang bersedia untuk membantu mengatasi masalah ini.
“Setiap kali hujan turun, rasanya saya deg-degan, khawatir dengan kondisi di belakang Kampung Buku. Karena lokasinya berdekatan dengan sungai, tanahnya terus tergerus. Dari semua kendala yang ada, kondisi struktur tanah di belakang Kampung Buku yang paling utama,” ungkap Edi.
Kesimpulan
Artikel “Lika-liku Kampung Buku Cibubur: Perjuangan Mencari Buku yang Hilang dan Menghadapi Ancaman Longsor” mengisahkan perjalanan Edi Dimyati, pendiri Taman Baca Masyarakat (TBM) Kampung Buku. Edi telah menghadapi banyak tantangan dalam merawat dan menjaga perpustakaan tersebut, termasuk kekhawatiran tentang masa depannya dan hilangnya buku-buku yang dipinjam. Meskipun demikian, Edi tetap bertekad untuk membangun ruang literasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Ia telah mengorbankan pekerjaan kantornya dan fokus mengurus Kampung Buku. Meski banyak ejekan dan omongan negatif, Edi tidak tergoyahkan dan menggunakan hal tersebut sebagai motivasi. Kampung Buku semakin terkenal dan dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai daerah. Namun, ada kekhawatiran baru terkait potensi longsor yang mengancam keberlanjutan Kampung Buku. Edi berusaha keras untuk mencegah longsor dengan menutup tanah di belakang bangunan menggunakan terpal. Namun, ia tetap membutuhkan bantuan pihak lain untuk mengatasi masalah tersebut. Edi menekankan bahwa kondisi tanah di belakang Kampung Buku adalah kekhawatiran terbesarnya karena berdekatan dengan sungai dan terus tergerus saat hujan turun.