indotim.net (Jumat, 12 Januari 2024) – Bupati Labuhanbatu, Erik Adtrada Ritonga (EAR), telah menjadi tersangka yang ditetapkan oleh KPK karena diduga menerima suap sebesar Rp 1,7 miliar. Suap tersebut diberikan dalam rangka pengkondisian proyek di Labuhanbatu.
Erik ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (11/1/2024). Awalnya, KPK menangkap 10 orang yang diduga sebagai pelaku. Setelah dilakukan penyidikan, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka.
Keempat tersangka terdiri dari Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga (EAR) dan Anggota DPRD Rudi Syahputra Ritonga (RSR) selaku penerima suap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menetapkan dua pihak swasta bernama Effendy Saputra (ES) dan Fazar Syahputra (FS) sebagai tersangka pemberi suap.
Ghufron mengungkapkan bahwa kasus ini bermula dari informasi yang diterima oleh KPK mengenai adanya pemberian uang secara tunai dan transfer yang melibatkan tersangka Rudi Syahputra. Tim KPK kemudian melakukan tindakan dan menemukan bukti uang tunai tersebut.
“Turut diamankan uang tunai dalam kegiatan ini sejumlah sekitar Rp 551,5 juta sebagai bagian dari dugaan penerimaan sementara sejumlah Rp 1,7 miliar,” ujar Ghufron, Jumat (12/1).
Ghufron mengungkapkan bahwa kasus suap yang melibatkan Bupati Labuhanbatu ini berhubungan dengan pengadaan proyek di SKPD Pemkab Labuhanbatu. Beberapa proyek tersebut terjadi di Dinas Kesehatan dan Dinas PUPR.
Sejumlah proyek yang menjadi agenda Bupati Labuhanbatu, Erik Adtrada, memiliki nilai proyek sekitar Rp 19,9 miliar. Rudi Syahputra merupakan tersangka yang ditunjuk oleh Erik Adtrada untuk mengatur dengan sepihak terkait kontraktor yang memenangkan proyek tersebut.
“Besaran uang dalam bentuk fee yang diminta kepada para kontraktor yang akan memenangkan proyek adalah sebesar 5% hingga 15% dari total anggaran proyek,” ujar Ghufron.
Dalam Dinas PUPR terdapat dua proyek yang dimenangkan oleh dua tersangka swasta bernama Effendi Syahputra (ES) dan Fazar Syahputra (FS). Kedua tersangka ini diduga telah memberikan suap kepada Bupati Labuhanbatu dengan kode ‘kirahan’.
“Dalam kasus ini, Bupati Labuhanbatu yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) diduga menerima suap sebesar Rp 1,7 miliar,” ungkap Ghufron, narasumber terpercaya dalam kasus ini.
Melalui orang kepercayaannya yang bernama RSR, Bupati Labuhanbatu meminta agar segera disiapkan sejumlah uang yang disebut “kutipan/kirahan” dari para kontraktor yang telah dikondisikan untuk memenangkan beberapa proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR),” sambung Ghufron.
Ghufron menambahkan bahwa dari bukti permulaan, Bupati Labuhanbatu diduga menerima suap senilai Rp 1,7 miliar.
“Besaran uang yang diterima EAR melalui RSR sekitar Rp 551,5 juta sebagai bagian dari total Rp 1,7 miliar,” ucapnya.
Dua tersangka dari pihak swasta selaku pemberi suap dikenakan dengan jeratan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saat ini, terdapat dua tersangka yang diduga sebagai penerima suap dalam kasus ini, yaitu Bupati Labuhanbatu dan Anggota DPRD Labuhanbatu. Keduanya dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang membahas tindak pidana korupsi.
“Tim penyidik telah melakukan penahanan terhadap tersangka EAR, RSR, FS, dan ES masing-masing selama 20 hari pertama mulai tanggal 12 Januari hingga 31 Januari 2024 di Rutan KPK,” ungkap Ghufron.
Kesimpulan
Bupati Labuhanbatu, Erik Adtrada Ritonga (EAR), ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan menerima suap sebesar Rp 1,7 miliar. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, empat orang diduga terlibat dalam kasus ini, termasuk anggota DPRD dan pihak swasta yang memberikan suap. Kasus suap ini terkait dengan pengadaan proyek di SKPD Pemkab Labuhanbatu, dengan proyek bernilai sekitar Rp 19,9 miliar. Bupati Labuhanbatu diduga menerima fee sebesar 5% hingga 15% dari total anggaran proyek sebagai bentuk suap. KPK telah menahan keempat tersangka selama 20 hari pertama untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.