indotim.net (Rabu, 28 Februari 2024) – Angkatan Bersenjata Jerman, Bundeswehr, sedang melakukan pengeluaran besar-besaran untuk memperbaiki kesalahan dalam pengadaan peralatan militer di masa lalu. Meskipun begitu, tidak semua masalah yang muncul dapat terselesaikan hanya dengan uang.
Kontroversi seputar kebijakan wajib militer kembali memenuhi panggung perdebatan di Jerman. Gejolak tersebut mencuat setelah Kementerian Pertahanan mengalokasikan dana sejumlah puluhan miliar Euro untuk akuisisi pesawat tempur, tank, dan amunisi untuk Bundeswehr. Ironisnya, meski telah menghabiskan anggaran besar, Bundeswehr menghadapi kendala dalam menemukan personel yang mampu mengoperasikan serta merawat peralatan tempur yang telah dibeli.
Gagasan mengenai pemulihan wajib militer kini kembali menjadi topik hangat, dianggap sebagai langkah reinkarnasi dari era Perang Dingin yang telah berlalu.
Di Jerman, seperti di negara-negara Eropa lainnya, sedang hangat-hangatnya perdebatan politik mengenai kewajiban bagi setiap warga negara untuk melakukan wajib militer. Partai-partai oposisi, misalnya Uni Kristen Demokrat yang konservatif (CDU), telah mulai mengusulkan kembali penerapan wajib militer, namun hal ini disikapi dengan skeptis oleh koalisi tiga partai yang berkuasa.
Sikap pemerintah bertolak belakang dengan Menteri Pertahanan Boris Pistorius. Dia menilai keputusan pemerintah untuk membatasi wajib militer hanya dalam situasi darurat pada 2011 lalu sebagai “sebuah kesalahan” dan mengajak masyarakat berdiskusi.
Bagi Sophia Besch, peneliti di wadah pemikir Carnegie Endowment for International Peace di Washington, Amerika Serikat, Pistorius memilih berpolemik demi “mencapai sasaran yang lebih luas, yaitu meningkatkan kesadaran akan Bundeswehr sebagai penyedia lapangan kerja.”
Kementerian Pertahanan mengakui sedang merancang berbagai opsi untuk mengatasi kekurangan personel di Bundeswehr. Namun, setiap perubahan besar tetap memerlukan persetujuan dari parlemen.
Pangkas relawan tempur demi serdadu profesional
Sejak setelah Perang Dunia Kedua, Jerman Timur dan Barat mengharuskan warga negaranya untuk bertugas di angkatan bersenjata. Kewajiban nasional ini masih berlaku setelah berakhirnya Perang Dingin, sebelum akhirnya parlemen Jerman, Bundestag, menangguhkan UU tersebut tiga belas tahun yang lalu.
“Setelah terjadi krisis keuangan pada tahun 2008, fokus utama adalah menabung dan mengencangkan pengeluaran. Meskipun situasi keamanan dengan Rusia terbilang rumit, kami tetap saling bekerja sama,” ujar Mayor Jenderal Wolf-Jürgen Stahl, yang menjabat sebagai kepala Akademi Federal untuk Kebijakan Keamanan, BAKS. “Menurut saya, keputusan untuk mengembalikan wajib militer pada saat itu adalah langkah yang masuk akal.”
Berakhirnya wajib militer menyejajarkan Jerman dengan mayoritas anggota NATO, yang telah lama mengandalkan serdadu profesional. Meski menyusutkan jumlah serdadu, perubahan tersebut menghasilkan kekuatan yang lebih efisien.
Setelah mencatatkan hampir 500.000 tentara jelang akhir Perang Dingin, jumlah pasukan Bundeswehr berkurang sekitar setengahnya pada tahun 2010, setahun sebelum berakhirnya wajib militer. Angka terbaru menyebutkan jumlah pasukan sekitar 183.000 personel.
Tren pengetatan anggaran pertahanan baru berakhir setelah invasi Rusia ke Ukraina. Menurut rencana pemerintah, jumlah anggota Bundeswehr selayaknya bertambah menjadi 203.000 pada tahun 2031. Tapi niat tersebut dipercaya sulit terwujud. Karena saat ini pun, militer Jerman kesulitan menemukan calon tenaga kerja atau mempertahankan jumlah personel yang ada, seperti tercatat dalam laporan tahunan Komisioner Parlemen untuk Angkatan Bersenjata.
“Kita harus menampilkan daya gertak pertahanan yang mumpuni, dan antara lain membutuhkan lebih banyak prajurit,” kata Mayjend Stahl. “Bagaimana kita bisa mengumpulkan personel ini, dari pasar tenaga kerja? itu akan sulit,” tukasnya.
Meskipun pernyataan-pernyataan tersebut menuai pro dan kontra, namun penting untuk dipikirkan secara matang dalam memutuskan kebijakan mengenai wajib militer di Jerman. Dampak dari keputusan tersebut bisa jauh melampaui sekadar jumlah prajurit yang tersedia.
Ragam Jenis Wajib Militer
Menurut Badan Analisis Kebijakan Keamanan (BAKS), polemik seputar kembalinya wajib militer di Jerman terkait dengan “ketegangan antara hak dan kewajiban” sebagai warga negara. Situasi ini dipengaruhi oleh kasus-kasus anggota kepolisian atau militer Jerman yang terlibat dalam ideologi ekstrem kanan. Pengajuan RUU wajib militer menjadi sebuah langkah untuk memberikan jaminan terhadap struktur yang lebih demokratis dan inklusif bagi seluruh warga negara.
Salah satu aspek penting dari wajib militer, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan dalam wawancara dengan DW, adalah kontribusinya dalam memperkuat hubungan antara masyarakat dan militer.
Salah satu pilihan yang sedang diperdebatkan adalah menerapkan “model Swedia” yang melibatkan pembentukan Unit Pertahanan Semesta. Konsep ini melibatkan seluruh warga negara yang berusia 16 hingga 70 tahun, yang dapat ditugaskan dalam peran sipil maupun militer, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka masing-masing. Meskipun memiliki jumlah prajurit aktif yang terbatas, sistem ini dirancang sehingga dapat diperluas atau diperkecil secara cepat sesuai dengan situasi keamanan yang ada.
Peserta terlebih dahulu ditanya oleh Besch, “apakah mereka ingin bergabung dengan militer.” “Harapannya adalah, jika Anda bisa mewajibkan semua orang untuk setidaknya mengikuti tes minat dan bakat, Anda mungkin bisa merangsang minat.”
Amerika Serikat, yang menghapus wajib militer setelah kalah di Vietnam, mempertahankan sistem yang lebih pasif dan dikenal sebagai Layanan Selektif, SSS. Sistem ini mengharuskan semua pria berusia 18 hingga 25 tahun untuk mendaftar. Secara teori, 15 juta orang di dalam daftar SSS bisa dimobilisasi dengan cepat. Meski demikian, tanpa pelatihan atau seleksi yang efektif, tidak jelas berapa jumlah warga sipil yang mampu bertempur.
Jerman, sebagai negara Eropa terkemuka, juga sedang mempertimbangkan peningkatan kesiapan pertahanan mereka. Beberapa pihak mendukung kembalinya wajib militer untuk memastikan kekuatan militer yang memadai. Namun, ada pula kekhawatiran terkait biaya dan efektivitas dari sistem ini.
Perdebatan tentang kembalinya wajib militer di Jerman kembali memanas. Sejak ditiadakannya wajib militer pada tahun 2011, banyak pendapat pro dan kontra mengemuka tentang keputusan tersebut.
Kelompok yang mendukung wajib militer berpendapat bahwa dengan adanya kewajiban militer, dapat tercipta rasa tanggung jawab dan kebersamaan di kalangan masyarakat Jerman. Mereka juga meyakini bahwa wajib militer dapat membantu memperkuat pertahanan negara.
Sementara itu, pihak yang menolak kembali kepada wajib militer menyoroti adanya pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin terjadi dalam sistem wajib militer. Mereka lebih condong kepada konsep sukarela dalam pengabdian kepada negara.
Jerman sedang hangat membahas kemungkinan kembalinya wajib militer setelah lebih dari dua dekade dihapuskan. Banyak pihak pro dan kontra punya argumen masing-masing terkait kebijakan ini.