Kemajuan Aksi Perubahan Iklim Indonesia: Memimpin dengan Teladan

Saat ini dunia menghadapi tantangan yang berat, bumi menghadapi tiga masalah utama yaitu perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi. Kenaikan suhu global telah menyebabkan panas ekstrem yang melanda berbagai wilayah termasuk Indonesia. Bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Climate Ambition Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ambisi Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Markas Besar PBB di New York pada Bulan September 2023 sebagai bagian dari pertemuan Majelis Umum PBB ke-78 menyatakan bahwa ‘kemanusiaan telah membuka gerbang menuju neraka’.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa krisis iklim sudah menjadi masalah yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian serius dari semua negara.

Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam upaya menjaga kenaikan suhu global sesuai dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement). Hal ini tercermin dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) yang menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan upaya internal, serta 43,20% dengan bantuan internasional.

Selain itu, Indonesia juga telah mengemukakan visi dan formulasi jangka panjang melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050), yang mencakup rencana Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat. Untuk mendukung pencapaian NZE 2060 atau pada tahun yang lebih dini, sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) serta sektor energi menjadi kunci pengurangan emisi GRK di Indonesia. Rencana Operasional FOLU Net-Sink 2030 telah disusun untuk memastikan kontribusi sektor FOLU dalam mencapai target ini.

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Komitmen serius pemerintah Indonesia dalam menangani perubahan iklim dan mencapai target Nasionaly Determined Contributions (NDC) telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.

Penyampaian mengenai prestasi ini tentu didukung dengan data dan informasi yang akurat, transparan, dan dapat dipercaya. Berdasarkan data terkait tingkat pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), laporan inventarisasi GRK nasional menyatakan bahwa pada tahun 2022, tingkat emisi GRK sebesar 1.220 Mton CO2e. Emisi tersebut berasal dari beberapa kategori/sektor, yaitu Energi sebesar 715,95 Mton CO2e, Proses Industri dan Penggunaan Produk sebesar 59,15 Mton CO2e, Pertanian sebesar 89,20 Mton CO2e, Kehutanan dan Kebakaran Gambut sebesar 221,57 Mton CO2e, dan Limbah sebesar 221,57 Mton CO2e. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021), terjadi kenaikan total emisi sebesar 6,9%. Namun, jika dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa (Business As Usual/BAU) pada tahun yang sama, terjadi pengurangan emisi sebesar 42%.

Selain itu, dalam sektor lainnya seperti FOLU (Forestry and Other Land Use), kemajuan juga telah dicapai. Melalui pemantauan perubahan tutupan hutan antara tahun 2020 dan 2021, terlihat bahwa Angka Deforestasi Netto Indonesia pada tahun 2021-2022 mengalami penurunan sebesar 8,4%. Jika kita melihat data selama periode pengamatan dari tahun 1996 hingga 2000, angka deforestasi dapat mengalami peningkatan atau penurunan. Hal ini disebabkan oleh perubahan dinamis penutupan lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penggunaan lahan, yang dapat mengakibatkan hilangnya hutan atau penambahan lahan hutan melalui penanaman.

Untuk memberikan gambaran umum, data deforestasi dari periode tahun 1996-2000 hingga periode pemantauan 2020-2021 dapat dilihat dalam gambar berikut.

Dari visual grafik yang ditampilkan, terlihat bahwa tingkat deforestasi berhasil menurun hingga mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir, yaitu sebesar 0,11 juta ha.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil dibandingkan tahun 2019 meskipun pengaruh El-Nino hampir sama, bahkan kondisi pada tahun 2023 lebih kering. Untuk mengantisipasi hal ini, telah dilakukan berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun dan konsisten dilakukan langkah-langkah pencegahan, pemadaman, serta penegakan hukum. Survei hotspot dilakukan secara terus-menerus sambil menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Capaian ini menunjukkan keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Hasil ini diperoleh berkat kerjasama dan kolaborasi yang baik dari semua pihak terlibat dalam pengendalian karhutla.

READ  Houthi Serang Kapal Kargo Milik AS dengan Rudal Balistik! Ini Fakta Terbaru dan Update Terkini

Indonesia telah berhasil mengurangi dampak El Nino, sehingga jumlah hotspot dan luas karhutla tahun ini tidak sebesar sebelumnya. Pada tahun 2023, luas karhutla mencapai 1.161.192 ha, sedangkan pada tahun 2019 mencapai 1.649.258 ha. Terjadi penurunan luas karhutla sebesar 488.065 ha atau 29,59% jika dibandingkan dengan tahun 2019. Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2019, jumlah total hotspot pada tanggal 1 Januari hingga 31 Desember 2023, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan tingkat kepercayaan tinggi adalah 10.673 titik. Pada periode yang sama pada tahun 2019, terdapat 29.341 titik hotspot (terjadi peningkatan sebanyak 18.668 titik atau 63,62%).

Sektor energi memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik melalui proses transisi energi, terutama dalam pengembangan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE). Menurut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan (EBTKE), Rencana Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Terbarukan (PLT) Berbasis EBT dalam Green RUPTL PLN 2021-2030 menunjukkan bahwa dengan mengacu pada Green RUPTL tersebut, pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sebesar USD 55,18 Miliar, menciptakan 281.566 lapangan kerja baru, dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 89 juta ton CO2e.

Pentingnya Pengakuan Pembayaran Berbasis Kinerja/Result-Based Payment (RBP)

Mengacu pada Pasal 5 Paris Agreement yang menyatakan bahwa “Para pihak diharapkan untuk mengambil tindakan untuk melaksanakan dan mendukung, termasuk melalui pembayaran berdasarkan hasil,…….”, Indonesia telah berhasil secara konkret menunjukkan kemajuan dalam implementasi REDD+ sebagai bagian dari upaya mitigasi sektor FOLU. REDD+ di Indonesia diimplementasikan baik secara nasional maupun sub-nasional (provinsi) dengan kerangka kerja REDD+ yang meliputi empat elemen penting terkait arsitektur dan implementasi REDD+, dukungan sumber daya dan kelembagaan, serta peraturan dan sistem yang diperlukan.

Kinerja pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia melalui REDD+ telah mendapatkan pengakuan internasional dalam bentuk pembayaran berbasis kinerja atau Result-Based Payment (RBP). Saat ini, Indonesia menjadi negara yang menerima RBP terbesar dengan total komitmen RBP sebesar USD 439,8 juta. Dari total komitmen tersebut, Indonesia telah menerima pembayaran sebesar USD 279,8 juta.

Realisasi Bantuan Berbasis Hasil (RBP) ini berasal dari beberapa sumber, antara lain:

  1. RBP REDD+ melalui Green Climate Fund (GCF) dengan total USD 103,8 Juta. Bantuan ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 20,3 juta tCO2eq dari tahun 2014 hingga 2016. Dana ini akan disalurkan kepada provinsi-provinsi di tingkat nasional dan subnasional yang telah berkontribusi pada pengurangan emisi GRK sebanyak 34 provinsi. Penyaluran dana melalui Mekanisme Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Mechanism) telah disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan terkait.
  2. Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund pada tingkat subnasional di Provinsi Kalimantan Timur. Dana sebesar USD 110 juta ini bertujuan untuk mengurangi emisi GRK sebesar 22 Juta tCO2e dari tahun 2019 hingga 2024.
  3. BioCarbon Fund – the Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF – ISFL) pada tingkat subnasional di Provinsi Jambi dengan jumlah dana sebesar USD 70 Juta. Dana ini digunakan untuk mencapai kinerja pengurangan emisi dalam periode tahun 2020 hingga 2025.
  4. Result Based Contribution (RBC) melalui kerjasama antara Indonesia dan Norwegia. Dana sebesar USD 56 juta digunakan untuk mengurangi emisi GRK sebesar 11,2 juta tCO2eq pada periode tahun 2016-2017 (tahap 1), dan sebesar USD 100 Juta untuk pengurangan emisi GRK sebanyak 20 juta tCO2e pada periode tahun 2017-2019 (tahap 2).

Prestasi yang telah diraih Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan menerima RBP (Results Based Payment) telah diakui oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan menjadi contoh baik dalam pelaksanaan skema REDD+. Oleh karena itu, saat rangkaian pertemuan COP28 di Uni Emirat Arab (UEA), Dubai, Indonesia diminta untuk berbagi pengalaman sukses dalam pelaksanaan REDD+ pada acara sampingan UNFCCC dan sesi-sesi diskusi di beberapa Pavilion Negara Pihak, termasuk Pavilion Ecuador, Brazil, dan Indonesia.

Program Komunitas untuk Iklim (Proklim) adalah inisiatif yang telah diluncurkan di Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim. Tujuan utama dari program ini adalah untuk mempromosikan aksi kolektif dan berkelanjutan dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

READ  Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Ambang Batas Parlemen Tidak Berdampak pada Pemilu 2024

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan jalan sebagai pemimpin dalam upaya mengatasi masalah perubahan iklim. Melalui Proklim, pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca, penghijauan, serta peningkatan efisiensi energi.

Salah satu contoh kesuksesan yang telah dicapai adalah program penghijauan di berbagai daerah. Dengan melibatkan masyarakat setempat, pemerintah telah berhasil menanam jutaan pohon yang membantu dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Selain itu, Indonesia juga telah mengambil langkah nyata dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Hal ini tidak hanya membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga berpotensi untuk menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat keberlanjutan ekonomi.

Tidak hanya dalam lingkup nasional, Indonesia juga turut berpartisipasi dalam forum internasional untuk mendorong kerjasama global dalam mengatasi perubahan iklim. Pada tahun lalu, Indonesia berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) yang diselenggarakan di Bali. Melalui kesempatan ini, Indonesia aktif berperan dalam perundingan global dan mempertahankan posisi sebagai negara yang peduli terhadap isu keberlanjutan lingkungan.

Namun, meskipun telah mencapai banyak kemajuan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Peningkatan kesadaran masyarakat, peningkatan akses terhadap teknologi yang ramah lingkungan, serta peningkatan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta merupakan beberapa hal yang perlu terus ditingkatkan dalam upaya mencapai tujuan perlindungan lingkungan yang lebih baik.

Masyarakat secara partisipatif telah melakukan aksi iklim baik adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak. Kontribusi nyata aksi iklim oleh masyarakat di tingkat tapak telah didorong dan difasilitasi melalui Program Kampung Iklim (ProKlim) sejak tahun 2012 dan menjadi gerakan nasional pada tahun 2015. Hingga tahun 2023, ProKlim telah dilaksanakan pada 7.264 lokasi ProKlim.

Sejalan dengan semangat peningkatan ambisi pengurangan emisi GRK, pada tahun 2023 Program Keberlanjutan Iklim (ProKlim) telah melakukan transformasi atau rekonseptualisasi menjadi Program Komunitas untuk Iklim (ProKlim). Dengan konsep yang baru ini, diharapkan ProKlim dapat mencakup kelompok yang lebih luas dan memberikan peluang kepada semua pihak untuk memberikan kontribusi yang lebih besar. Adapun kelompok yang dapat terlibat meliputi komunitas sekolah, komunitas kampus, komunitas pesantren, komunitas penggiat lingkungan, dan komunitas lainnya.

Program ProKlim dilakukan secara sistematis dan dicatatkan dalam Sistem Registri Nasional (SRN) PPI. Rekonseptualisasi ProKlim ini bertujuan untuk mempercepat pencapaian target pembentukan 20.000 kampung iklim pada tahun 2024 serta melibatkan partisipasi aktif dari berbagai kelompok masyarakat dan komunitas serta pemangku kepentingan lainnya dalam beradaptasi dan mitigasi untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim.

Negosiasi Global yang Sukses

Indonesia sebagai salah satu negara di dunia sangat proaktif dalam melakukan diplomasi dan negosiasi untuk mengatasi perubahan iklim secara global. Melalui tindakan nyata (leading by example), partisipasi dan diplomasi Indonesia telah memberikan pengaruh positif dalam berbagai perundingan terkait isu perubahan iklim. Lebih dari itu, tindakan nyata yang telah dilakukan oleh Indonesia juga menunjukkan bahwa Indonesia telah lebih dahulu mengambil inisiatif dalam beberapa langkah pengendalian perubahan iklim sebelum langkah tersebut menjadi komitmen atau keputusan global. Misalnya, ketika Konferensi Pihak (COP) UNFCCC memandatkan bahwa Negara Pihak harus meningkatkan ambisi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan skenario peningkatan suhu maksimum 1,5 derajat Celsius (1,5°C), Indonesia sudah mulai menyusun Dokumen Second NDC Indonesia yang selaras dengan skenario 1,5°C yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy – Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi GRK secara global pada tahun 2030 sebesar 43% dan pada tahun 2035 sebesar 60% berdasarkan tingkat emisi GRK pada tahun 2019. Contoh lainnya adalah Indonesia telah menyampaikan target NDC yang meliputi semua sektor dan jenis GRK yang ada, menggambarkan aspek keseluruhan perekonomian, sesuai dengan kondisi nasional, sementara banyak negara lain belum menyampaikan target NDC secara menyeluruh.

READ  Nasir Djamil PKS: Topik Hak Angket

Kontribusi dalam Konteks Regional (ASEAN)

Kepemimpinan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim juga terlihat melalui kerja sama regional. Pada masa kepengurusan ASEAN 2023, Indonesia telah menginisiasi tiga deliverables terkait pengendalian perubahan iklim, yaitu:

  1. ASEAN Joint Statement on Climate Change to the COP 28 UNFCCC (AJSCC)
  2. ASEAN Community-based Climate Action
  3. ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC)

Dokumen Aksi Perubahan Iklim ASEAN (AJSCC) mengandung posisi dan pandangan ASEAN mengenai kebijakan perubahan iklim global. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia menjadi negara pengarah dalam penyusunan AJSCC untuk COP 28. ASEAN mengajukan seruan kepada semua Negara Peserta (Parties) untuk memperkuat komitmennya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendesak negara-negara maju untuk memenuhi komitmen finansial sebesar 100 miliar USD per tahun.

Teks di atas merupakan potongan dari sebuah artikel mengenai kemajuan aksi perubahan iklim di Indonesia. Karena keterbatasan pada platform chat GPT, artikel tersebut telah dibagi menjadi 32 bagian, dan teks di atas merupakan bagian ke-26. Tulisan ini akan diubah agar dapat terhubung dengan baik dengan teks bagian ke-25 tanpa adanya kebingungan. Selain itu, kami akan memastikan bahwa artikel tercipta dengan keunikan dan mudah dibaca. Seluruh tulisan akan menggunakan format HTML yang rapi dan SEO friendly.

ASEAN Community-based Climate Action adalah sebuah kajian yang mempertimbangkan kondisi geografis ASEAN yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam konteks ini, Non Party Stakeholders (NPS), termasuk komunitas lokal, memiliki peran penting dalam upaya kawasan untuk mengatasi perubahan iklim. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengembangkan sistem manajemen pengetahuan aksi iklim berbasis komunitas dan mendorong partisipasi komunitas lokal dalam melaksanakan aksi iklim di Kawasan ASEAN.

Sementara itu, deliverable ke-3 dari aksi perubahan iklim di Indonesia adalah ACCTHPC yang berfungsi untuk: (i) memfasilitasi kerja sama dan koordinasi dalam penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang dihasilkan dari kebakaran di Kawasan ASEAN, (ii) membangun sistem informasi, keahlian, teknologi, teknik, dan pengetahuan, serta (iii) memperkuat kerjasama dengan mitra dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di kawasan ASEAN. ACCTHPC berbasis di Jakarta, Indonesia.

Meningkatkan Upaya dalam Aksi Perubahan Iklim

indotim.net (Jumat, 12 Januari 2024) – Dalam rangka mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah mengadopsi beberapa langkah strategis. Salah satunya adalah memberikan insentif kepada para pelaku mitigasi melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang diimplementasikan melalui Perdagangan Karbon.

Selain itu, Indonesia juga telah menjalankan Enhance Transparency Framework sebagai mandat dari artikel 13 Perjanjian Paris. Kerangka ini termasuk dalam pembangunan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) yang bertujuan untuk mengakui aksi-aksi yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan dengan mengikuti metodologi dan aturan yang telah disepakati secara internasional.

Melalui proses di SRN, Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dapat diterbitkan dan diperdagangkan sebagai bagian dari insentif kepada para pelaku mitigasi.

Pemerintah Indonesia terus meningkatkan upaya dalam memberikan pemahaman serta mendorong partisipasi masyarakat dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Semua elemen masyarakat turut terlibat dalam mengatasi masalah Iklim dan Karbon, seperti upaya efisiensi energi, pengelolaan, dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Diharapkan agar masyarakat di seluruh penjuru negeri dapat menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang dapat berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membangun dan menyediakan layanan publik berupa Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) untuk meningkatkan pemahaman mengenai perubahan iklim serta kolaborasi antara pemangku kepentingan.

Dalam upaya untuk berkontribusi secara global dalam pengendalian perubahan iklim dan menjaga kepentingan bangsa Indonesia, Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terus meningkatkan tindakan nyata dan memimpin dengan memberikan contoh (leading by examples).