Akarnya Kemarahan Petani India dan Aksi Protes Massa

indotim.net (Selasa, 27 Februari 2024) – Pasukan keamanan India mengerahkan beragam taktik, mulai dari barikade, kawat berduri, bulldozer, hingga meriam air. Bahkan drone dengan gas air mata digunakan untuk menghadang konvoi dan unjuk rasa petani yang menuju New Delhi.

Bagi para pengunjuk rasa, situasi yang tengah terjadi terasa begitu familiar. Beberapa tahun silam, mereka turut serta dalam unjuk rasa besar-besaran menentang kebijakan penetapan harga pemerintah, memperjuangkan jaminan hukum terkait harga dukungan minimum (MSP) guna memberikan perlindungan bagi petani menghadapi fluktuasi harga.

Protes ini berakhir menjelang akhir tahun 2021 setelah pemerintah India menjamin petani bahwa tuntutan mereka akan ditindaklanjuti.

Setelah lebih dari dua tahun tidak ada perubahan, banyak petani di India merasa ditipu.

Pada awal bulan ini, dua badan pertanian besar, yaitu Samyukta Kisan Morcha dan Kisan Mazdoor Morcha, yang mewakili lebih dari 200 serikat petani di India, mengajukan seruan untuk menggelar unjuk rasa baru di jalan-jalan menuju New Delhi.

Sebelumnya, petani dari berbagai provinsi India berkumpul di sekitar Delhi, memprotes tiga undang-undang pertanian yang mereka anggap merugikan.

Namun para demonstran segera mengetahui bahwa jalan menuju ibu kota India telah diblokir.

Para Petani Siap Menghadapi Kebuntuan yang Berkepanjangan

Ribuan petani dari segala usia kini terjebak di dalam traktor dan truk mereka di jalan raya di desa Shambhu, yang terletak di perbatasan negara bagian pertanian Punjab dan Haryana di utara.

Mereka mengatakan mereka menghadapi ketidakadilan besar-besaran di tangan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.

Harpreet Singh, 34, seorang petani dari distrik Tarn Taran di Punjab, menyuarakan kekhawatiran para petani bahwa keberlangsungan hidup mereka terancam jika suara mereka tidak didengar.

READ  Jerman: Kontroversi Kembalinya Wajib Militer

Sebagai petani, Suresh Kumar telah merasakan pahitnya harus meninggalkan keluarganya untuk berjuang. “Sangat menyakitkan kami harus duduk di sini jauh dari keluarga kami,” katanya kepada DW dari troli traktornya.

Petani India terus mempertahankan protes mereka meskipun menghadapi kendala besar di ladang. Mereka yakin bahwa perjuangan ini bukan semata-mata untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk keselamatan generasi mendatang dan sesama petani.

Sebagai petani, kami merasa kecewa dengan langkah-langkah pemerintah yang terkesan mengorbankan kepentingan kami.

Namun bahkan dengan kerugian akibat protes, “pemerintah yang tidak memberikan jaminan hukum terhadap MSP akan lebih merugikan kami.”

Singh menegaskan bahwa persiapannya dan para pengunjuk rasa lainnya telah terjadi selama berbulan-bulan serta mereka siap menghadapi kebuntuan yang akan berkepanjangan.

Penantian Bertahun-tahun

Para petani juga menuntut keringanan pinjaman dan penerapan rekomendasi Komisi Swaminathan. Komisi ini didirikan pada tahun 2006 oleh Kongres Nasional India. Pada saat itu, Kongres dikuasai oleh partai-partai lawan seperti Bharatiya Janata Party (BJP) yang dipimpin oleh Modi. Kongres Nasional India kemudian mengubah kesimpulannya menjadi undang-undang yang mengatur agar petani menerima Harga Minimum Dijamin (MSP) setara dengan 1,5 kali biaya produksi rata-rata tertimbang.

BJP berjanji untuk menerapkan kebijakan ini setelah berkuasa pada 2014, namun janji tersebut belum dipenuhi.

Situasi semakin meruncing saat para petani merasa kecewa dengan tindakan pemerintah yang dianggapnya tidak peduli terhadap nasib mereka.

Selain itu, banyak petani merasa frustrasi dengan strategi pemerintah yang dianggap tidak efektif dalam meredam protes, bahkan ada yang menuduh BJP menggunakan taktik kekerasan.

Kepahitan, kemarahan terhadap pemerintah

Seorang pengunjuk rasa menegaskan kepada DW bahwa pemerintah telah “menipu” para petani yang mempercayai janji-janji pemerintah pada tahun 2021.

READ  Luksnya Korupsi di Rumah Dinas DPR: Kunci Sukses Interior

“Kami dicap teroris, tapi ini negara kami yang kami katakan demokrasi tapi rasanya tidak seperti itu,” ujarnya dengan mata yang masih merah dan berair karena gas air mata.

Awal pekan ini, polisi menggunakan teknologi drone untuk menjatuhkan gas air mata dan menembakkan beberapa peluru gas dalam upaya untuk membubarkan massa petani yang sedang melakukan protes. Akibatnya, banyak petani mengalami luka-luka dan beberapa di antaranya harus dirawat di rumah sakit.

“Apakah pemerintah bermaksud membombardir orang-orang yang tidak bersenjata?” tanya Sawaranjit Singh, seorang petani dari Ludhiana, sementara ledakan tabung gas air mata terus mengguncang lokasi protes.

Petani-petani lain di sekitarnya mengangguk setuju, merasakan ketegangan yang sama di udara. Mereka bersama-sama menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar, namun tekad untuk memperjuangkan hak-hak mereka tetap menggebu.

Petani India telah melancarkan protes besar terhadap undang-undang baru yang mereka yakini akan merampas hak-hak mereka. Pandangan serupa juga disuarakan oleh aktivis hak asasi manusia yang mengecam langkah pemerintah dalam hal ini. Isu ini telah menimbulkan ketegangan di negara tersebut dan menimbulkan pertanyaan tentang masa depan demokrasi di India.

Dalam keterangan resmi, seorang petani senior menyatakan, “Ini adalah pembunuhan demokrasi.” Pernyataan tersebut mencerminkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan petani India terkait kebijakan pemerintah terbaru dalam hal pertanian.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite.

Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Setelah berbulan-bulan bersitegang, akhirnya pemerintah India dan para petani menemukan titik temu terkait tiga undang-undang pertanian kontroversial yang menjadi pemicu protes panjang. Perjuangan para petani India ini menjadi sorotan dunia dan menandai awal kemarahan yang memicu aksi protes masif.

READ  Jerman Dikepung oleh Protes Massal Menentang Kelompok Ultrakanan: Keharmonisan di Tepi Jurang

Awalnya, para petani memprotes undang-undang yang mereka anggap merugikan mereka, namun pemerintah India awalnya bersikeras untuk tetap menjalankan undang-undang tersebut. Namun, melalui dialog intensif dan negosiasi panjang, akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan untuk mencabut undang-undang tersebut.

Meskipun demikian, proses pencabutan undang-undang tersebut bukanlah akhir dari perjuangan petani India. Mereka masih memiliki tuntutan lain terkait harga minimum pembelian dan reformasi pertanian yang lebih luas. Bagaimana langkah selanjutnya dari perjuangan petani India ini, masih menjadi sorotan yang dinantikan.