indotim.net (Sabtu, 02 Maret 2024) – Sedikitnya separuh dari kasus kematian santri di Pesantren Al-Hanifiyyah, Kediri merupakan hasil dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sesama santri. Peristiwa yang viral tersebut telah menjadi sorotan yang menyentak bagi dunia pendidikan pesantren.
Sebagai seorang alumni pesantren, saya memiliki pemahaman yang cukup dalam tentang bagaimana pesantren mengarahkan pendidikan bagi santri-santrinya. Pengalaman saya dimulai sejak tahun 2003 ketika saya memasuki pesantren pada usia 11 tahun, saat itu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD.
Saya telah menghabiskan sebagian besar hidup saya terlibat dalam lingkungan pesantren. Mulai dari dipondokkan orangtua di Mojokerto, di sebuah pesantren khusus untuk anak kecil hingga usia sekolah dasar. Perjalanan itu terus berlanjut hingga jenjang pendidikan SMP dan SMA.
Bahkan ketika saya melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, saya masih memilih untuk tinggal dan belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang. Saat ini pun, saya masih aktif belajar dan bekerja di sekitar lingkungan pesantren.
Setidaknya selama 20 tahun mengenyam bangku pendidikan di institusi pesantren, sekalipun saya tidak pernah merasakan kekerasan fisik yang dikemas dalam pengajaran di pesantren. Apalagi instruksi langsung untuk melakukan kekerasan pada santri yang melanggar aturan, sama sekali tidak.
Memang, ada sebagian pesantren yang masih menerapkan metode pendidikan kuno dengan pemahaman yang cukup keras, namun perlahan-lahan semakin banyak pesantren yang mengutamakan pendekatan yang lebih humanis dan tidak kekerasan.
Pesantren menjadi tempat yang seharusnya memberikan pendidikan agama dan akhlak yang baik bagi para santrinya. Namun, sayangnya, masih terdapat kasus kekerasan yang terjadi di dalamnya. Padahal, tindakan kekerasan seperti memukul merupakan pelanggaran terhadap aturan dan nilai-nilai agama yang seharusnya diterapkan di pesantren.
Tumbuh Bersama Masyarakat
Pesantren seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi para santri untuk belajar agama dan ilmu pengetahuan. Namun, realita yang terjadi seringkali berbeda, terutama dalam hal kekerasan yang terjadi di dalamnya. Kekerasan di pesantren menjadi isu yang harus kita renungi bersama agar dapat menciptakan lingkungan pesantren yang lebih baik.
Pesantren hadir di bumi Nusantara sebelum Indonesia merdeka. Bahkan dianggap sebagai lembaga pendidikan tertua. Selain menjadi lembaga pendidikan dan syiar agama Islam, pesantren juga turut andil dalam proses panjang meraih kemerdekaan Indonesia.
Melalui pendekatan akademis, Fisher (2002) mencatat bahwa pesantren ternyata memiliki kompleksitas yang mendalam. Bahwa, di balik sejumput kebaikan, pesantren juga menjadi tempat lahirnya ekspresi kekerasan. Baik terhadap santri putra atau putri, kekerasan bisa bersarang di dalam dinding-dinding pesantren.
Pesantren terus berkembang sepanjang abad ke-18 sampai abad ke-20. Dalam perkembangannya pesantren tidak sendiri, bahkan dalam pengembangan pesantren banyak dibantu oleh masyarakat sekitar seperti pembangunan surau, masjid, asrama, dan lain sebagainya.
Hal ini menunjukkan adanya kerjasama dan dukungan yang kuat dari masyarakat sekitar pesantren dalam memajukan lembaga pendidikan Islam ini. Dengan bantuan tersebut, pesantren mampu bertahan dan terus berkembang hingga saat ini.
Bantuan yang diberikan masyarakat bagi pesantren bukanlah tanpa arti. Ini menunjukkan harapan besar dari masyarakat bahwa pesantren dapat menjalankan peranannya dalam mendidik generasi penerus bangsa secara baik dan benar, menuju kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Selain memperhatikan perkembangan pesantren, pemerintah pada awal 1949 juga mendorong pembangunan sekolah umum luas dan memberi peluang jabatan bagi mereka yang terdidik di sekolah umum. Langkah ini mengurangi peran pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia.
Kemudian, pesantren bangkit kembali saat KH. A. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama. Melalui Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1950, pesantren diberi kesempatan memberikan pelajaran umum di madrasah dan pelajaran agama di sekolah umum negeri/swasta. Inilah momen di mana pesantren mulai mengembangkan fasilitas pendidikan untuk mendukung pendidikan umum.
Pesantren-pesantren turut mendirikan sekolah-sekolah umum. Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan menyebut Pesantren Tebuireng adalah pesantren pertama yang mendirikan SMP/SMA. Pesantren pun semakin mendapat perhatian masyarakat setelah Reformasi. Tepatnya pada 1988 hingga 2004 pesantren bertambah rata-rata 500 setiap tahunnya. Pada 2004 – 2008 bertambah 1.000 pesantren.
Memahami pesantren dengan benar merupakan kunci utama untuk menghindari kesalahan persepsi terkait dengan institusi ini. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, seringkali disalahpahami oleh masyarakat luas. Sebagian orang mungkin berpikir bahwa pesantren hanya sebagai tempat untuk memperkuat ajaran agama, tanpa menyadari pentingnya peran pesantren dalam mendidik generasi muda serta membentuk karakter yang tangguh.
Dulu ada stigma bahwa pesantren itu identik dengan kumuh dan ketinggalan zaman. Sehingga tidak banyak masyarakat yang memilih memondokkan anaknya ke pesantren. Lalu pesantren berbenah dan stigma itu hilang seiring berkembanganya waktu. Ya, tentu tidak hilang sepenuhnya, masih saja ada orang yang beranggapan begitu.
Namun, perlu diakui bahwa banyak pesantren yang telah bertransformasi menjadi lembaga pendidikan yang modern dan terdepan. Mereka telah membuktikan bahwa pesantren bukanlah tempat yang harus dikhawatirkan. Keramaian suara murid-murid yang belajar dengan tekun dan gembira, serta keceriaan para santri, adalah bukti bahwa pesantren bisa menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi perkembangan generasi muda.
Stigma lain yang melekat pada pesantren adalah sebagai bengkel untuk anak nakal. Pada masa kecil saya dulu, teman-teman yang memiliki perilaku nakal sering kali diancam oleh orang tua mereka akan dikirim ke pesantren jika perilaku nakalnya tetap berlanjut. Hal ini membuat para anak menjadi takut dan akhirnya tidak lagi melakukan hal-hal nakal.
Namun tak sedikit orang tua yang tak mampu mengatasi perilaku nakal anaknya dan memilih untuk memondokkannya di pesantren, dengan harapan sang anak akan bertobat. Stigma seperti ini telah merasuki pemahaman umum masyarakat tentang pesantren.
Tidak semua pesantren memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku nakal seorang anak. Ada yang dapat diubah, dan ada yang tidak. Yang menjadi masalah adalah ketika perilaku yang sulit diubah. Kita semua tahu bahwa sikap buruk cenderung lebih menular daripada kebaikan. Mungkin saja anak yang nakal tersebut kemudian mempengaruhi teman-temannya yang sebelumnya baik untuk ikut terjerumus dalam perilaku yang tidak benar.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang multidimensi, tujuannya kompleks. Mereka yang belajar di pesantren tidak hanya diajari ilmu agama tetapi juga mendapat tempaan yang alami berupa kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan nilai positif lainnya.
Pesantren menjadi tempat yang membangun karakter generasi muda, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi secara holistik. Namun, tahukah kita bahwa di balik kebaikan tersebut, ada realitas kekerasan yang terjadi di dalam pesantren?
Perlu diingat, pesantren tak ubahnya lembaga pendidikan lainnya. Tidak ada jaminan 100% mereka yang nakal berubah menjadi baik. Tetapi dengan piranti-piranti pendidikan yang kompleks berupa ilmu agama dan umum, juga tempaan alami yang membentuk karakter, pesantren adalah wadah yang punya potensi besar untuk membentuk karakter seorang anak menjadi lebih baik.
Namun demikian, kasus kekerasan baik verbal maupun fisik yang terjadi di pesantren juga perlu mendapat perhatian serius. Kekerasan dapat merusak proses pendidikan dan membahayakan perkembangan psikologis anak. Penting bagi seluruh pihak terkait untuk menjaga lingkungan pesantren agar aman dan kondusif tanpa kekerasan.
Sebelumnya, kita membahas mengenai perlunya perbaikan dalam struktur dan sistem pendidikan di pesantren sebagai langkah awal untuk mencegah kekerasan yang terjadi di dalamnya.
Saat ini, memang masih terdapat banyak tantangan dan hambatan yang perlu diatasi untuk menciptakan lingkungan pesantren yang aman dan nyaman bagi seluruh santri.
Penting untuk menjaga komunikasi yang baik antara pengasuh, ustadz, dan seluruh penghuni pesantren agar setiap permasalahan yang muncul dapat diselesaikan secara bijaksana dan tidak melibatkan tindakan kekerasan.
Saya ingat betul ketika menjadi santri di Pesantren Tebuireng. Ketika itu pengasuh pesantren, KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah), memberikan instruksi dengan amat jelas dan tegas bahwa dalam proses pendidikan para santri, para pengurus atau civitas pesantren dilarang keras melakukan kekerasan fisik. Instruksi Gus Sholah itu memberikan pemahaman kepada saya bahwa pengurus saja dilarang melakukan kekerasan apalagi yang diurus alias santri. Adanya larangan itu kemudian memunculkan semacam teladan yang mewujud dalam budaya di Pesantren Tebuireng. Yakni, keteladanan anti kekerasan yang mula-mula dilakukan oleh pengurus pesantren lalu menjalar ke para santri. Sehingga kekerasan bisa diminimalisasi bahkan dihilangkan sama sekali.
Kita harus mengenali perbedaan secara jelas antara kekerasan dan ketegasan dalam konteks pendidikan pesantren. Kekerasan bukanlah bagian dari sifat tegas, sebaliknya ketegasan tidak mungkin terwujud melalui kekerasan. Oleh karena itu, semua pesantren perlu bertindak tegas terhadap siapa pun yang melakukan kekerasan.
Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap pesantren akan semakin luntur. Kita harus ingat, pesantren tumbuh bersama dengan masyarakat yang meyakini bahwa pesantren merupakan lembaga yang sesuai untuk mendidik karakter anak-anak mereka. Jangan tradisikan kepercayaan mereka! Selain itu, kita akan mengkhianati nilai-nilai agama dan para pendiri pesantren (ulama dan kiai) jika pendidik pesantren tidak mampu melakukan perbaikan terhadap sistem dan metode pendidikan mereka.
Kekerasan di pesantren harus dihentikan, tanpa kompromi. Tidak ada ruang bagi toleransi jika kita ingin pesantren tetap dihormati sebagai lembaga pendidikan yang cocok untuk membentuk karakter yang baik bagi generasi penerus bangsa. Sebagai civitas pesantren, menjadi penting bagi kita untuk merenung kembali tentang tujuan lahirnya pesantren, yaitu sebagai respons terhadap kondisi sosial masyarakat yang dihantui oleh keruntuhan moral, dengan cara mengubah nilai-nilai melalui amar ma’ruf dan nahi munkar.
Tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih, dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan pesantren. Mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan pesantren. Pesantren memang tempat membentuk karakter dan moral. Namun, apakah benar-benar seperti yang kita harapkan?
Septian Pribadi, seorang peneliti di Badan Litbang dan Inovasi Tebuireng Media Group, tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, keislaman, dan pendidikan.