Kelahiran Nabi Muhammad SAW

 

Qushay ibn Kilab

Kelahiran Nabi Muhammad SAW – Kita akan membahas lebih dalam mengenai kelahiran Nabi saw. Kita akan masuk mengerucutkan pembahasan ke Makkah. Bahasan ini tentu akan kita mulai dari Qushay ibn Kilab. Ia adalah salah satu keturunan Fihr. Nama lain Fihr adalah Quraisy. Quraisy adalah nama julukan. Karena Fihr, sebagaimana tradisi orang arab, jika ia memiliki kepintaran, kekayaan, kekuatan, dan keturunan berkumpul dalam dirinya maka bisa dinisbatkan suku padanya.

Kebetulan keturunan dari Ismail dan suku Jurhum (suku yang hijrah dari Yaman kemudian menetap di Makkah) ada salah satu yang menonjol. Sebagaimana dikisah peradaban awal Makkah, dihuni oleh suku Jurhum yang tinggal bersama Hajar. Berjalan selama bertahun-tahun  sampai Ibrahim dan Isma’il ‘alayhimassalam meninggal akhirnya datang sebuah suku yang ingin menguasai Makkah.

Namanya suku Khuza’ah. Salah satu pemimpin suku Khuza’ah adalah Amr ibn Luhay, orang yang pertama kali membawa berhala ke Makkah. Suku Khuza’ah berkuasa di Makkah selama 500 tahun. Dan selama suku Khuza’ah memimpin Makkah, suku Jurhum sempat menimbun zam zam.

Qushay ibn Kilab, keturunan Ismail a.s. dan suku Jurhum berpikir, bagaimana bisa Makkah yang tadinya dikuasai Jurhum dan kakeknya Ismail direbut suku Khuza’ah. Walaupun suku Jurhum dan Khuza’ah sudah berbaur selama bertahun-tahun, akan tetapi kerajaan dikuasai suku Khuza’ah. Qushay ibn Kilab mulai memperbaiki ekonominya. Dia bekerja, berbisnis sampai Alloh bukakan kekayaan yang sangat banyak.

Pada saat itu, raja Makkah dari Khuza’ah yang bernama Hulail, memiliki seorang anak tertuanya yang terkenal dengan kecantikannya, anak raja. Qushay datang melamarnya. Dan pada saat itu ia memiliki kekayaan, kedudukan. Lamaran pun diterima. Selama ini suku Jurhum selalu ditolak oleh suku Khuza’ah lamarannya, karena adanya persaingan sejak dulu. Perniagaan, mereka bertransaksi. Tapi untuk pernikahan tidak. Pertama kalinya suku Jurhum diterima Khuza’ah adalah lamaran Qushay. Pada saat menikah dengan anak Hulail, Qushay menunjukkan yang terbaik.

Raja Makkah

Ia patuh, ia bantu mertuanya. Sampai mertuanya meninggal. Setelah itu, Qushay menjalankan misinya, ia mengiklankan dirinya sebagai pengganti mertuanya, raja Makkah. Orang-orang dari suku Khuza’ah menolak. Bagaimana bisa kamu menjadi raja wahai Qushay. Raja jelas dari Khuza’ah, kamu dari Jurhum. Maka pada saat itu terjadi perseturuan, Qushay minta tolong sukunya, Jurhum. Dan suku Khuzaaah membentuk aliansi. Terjadilah pertempuran besar pada saat itu, dan jatuh banyak korban.

Pada saat mereka melihat banyak korban, anak tokoh-tokohnya, dan ipar-iparnya Qushay, mereka akhirnya sepakat. Harus ada penengah di antara mereka. Dan mereka menunjuk orang yang dituakan dikalangan mereka . Namanya Ya’mur ibn Auf. Diambillah sumpah, mereka harus menerima apapun keputusannya. Usia Ya’mur saat itu 120 tahun.

Bertanyalah Ya’mur, wahai Qushay, apa alasanmu membentuk pasukan untuk merebut kekuasaan dari mertuamu? Qushay menjawab, semua kita tahu kisah Makkah ini. Berawal dari kakek saya, Isma’il, ia seorang Nabi. Kemudian ia menikah dengan suku Jurhum dan itu turunan kami. Kami  yang membangun Makkah, membangun Ka’bah. Membentuk ekonominya. Sementara Qushay menyebutkan ini, anak-anak Hulail tidak bisa berkata apa-apa, kemudian Ya’mur bertanya, wahai Khuza’ah, kalian punya apa? Cuma datang, pasukan dari luar , menyerang Makkah dan menguasainya. Mereka terdiam.

Ya’mur kemudian mengambil sebuah keputusan mutlak. Seluruh Makkah, mulai dari pengurusan jamaah haji, Ka’bah, sampai kerajaannya untuk Qushay ibn Kilab. Maka pada saat itu Qushay menjadi raja Makkah. Kembalilah kekuasaan yang telah hilang selama 500 tahun.

Darun Nadwah

Saat Qushay memimpin Makkah, ia melakukan banyak hal. Salah satunya ia membuat Darun Nadwah, sebuah tempat yang luas semacam auditorium. Bangunan itu multi fungsi. Rapat, pertemuan tokoh-tokoh. Bahkan ia mewajibkan, siapapun penduduk Makkah yang ingin menikah, maka harus di tempat ini. Bangunan yang menjadi simbolnya kota Makkah, yang kedua setelah Ka’bah. Kisah Darun Nadwah cukup unik. Kisah jual belinya. Ada salah seorang yang kelak menjadi sahabat Nabi Muhammad saw., namanya Hakim ibn Huzam.

Sebelum masuk Islam, ia suka mabuk. Ia bersahabat dengan pemegang kunci Darun Nadwah dari keturunan Abdul Darr. Sewaktu mabuk bersama, Hakim bertanya kepada sahabatnya. Maukah kamu menjual Darun Nadwah? Iya. Lalu berapa harganya? Ia jawab; dengan sekendi khamr. Lalu memanggillah Hakim para saksi dan ia memberi satu kendi khamr. Karena sudah ada saksi, transaksi pun berlangsung. Akhirnya keturunan Abdul Darr kehilangan Darun Nadwah. Sampai beliau masuk Islam, Darun Nadwah ada di tangan Hakim ibn Huzam. Nabi saw biarkan, bahkan sampai di zaman Mu’awiyyah menjadi khalifah. Di zaman Mu’awiyyah ia jual dengan harga 100.000 dinar kemudian ia infaqkan semuanya.

Abdul Darr

Qushay ibn Kilab saat sudah mulai tua ia mulai mengamati anak-anaknya. Di antara anak-anaknya yang pertama adalah Abdul Darr dan Abdul Manaf, tidak diketahui dalam sejarah anak keberapa ia. Abdul Darr, anak pertamanya Qushay, ia lemah, tidak memiliki keterampilan dan kepandaian. Sementara Abdul Manaf sangat menonjol. Maka, Qushay ingin menjadikan Abdul Darr pemimpin. Ia berwasiat, ia tuliskan, semua kerajaaan, pengurusan Ka’bah, haji serahkan kepada Abdul Darr.

Setelah meninggal ditemukan surat wasiat itu. Semua anak Qushay patuh, akhirnya Abdul Darr  menjadi raja. Berjalannya waktu, Abdul Darr meninggal. Keturunan Abdul Darr mau melanjutkan kepemimpinan ayahnya. Akan tetapi, keturunan Abdul Manaf menolak. Paman kami, Abdul Darr dipilih oleh kakek – Qushay, karena tidak memiliki kekuatan. Hampir saja timbul perang. Akhirnya mereka sepakat, keturunan Abdul Manaf mengurus berkaitan dengan haji, jamaah haji. Sementara Abdul Darr mengurus Ka’bah dan Darun Nadwah.

Abdul Muthalib

Abdul Manaf memiliki anak, Hasyim. Hasyim memiliki anak bernama Syaibah. Ibu dari Syaibah adalah seseorang yang berkedudukan tinggi. Setelah Hasyim meninggal, Syaibah ikut ibunya kembali ke perkampungannya. Di antara anak Abdul Manaf ada yang bernama Muthalib. Ia mendatangi perkampungan ibu Syaibah untuk menjemput Syaibah kembali ke Makkah karena Muthalib merasa bahwa Syaibah adalah keturunan Qushay.

Ikutlah Syaibah kembali ke Makkah dengan Muthalib, diboncengkanlah Syaibah. Karena kebiasaan Muthalib membeli budak, sewaktu Muthalib membawa Syaibah orang-orang kemudian menjuluki Syaibah sebagai Abdul Muthalib, hambanya Muthalib. Abdul Muthalib pada saat masuk ke Makkah, Alloh karuniakan ia seorang anak bernama Harits.

Menggali Zam Zam

Ketika berusia 17 an tahun, Abdul Muthalib bermimpi. Di dalam mimpinya ada suara yang mengatakan kepadanya; “ihfirith thiybaa!” (galilah sesuatu yang baik). Ia bertanya; “maa thiybaa?” (apa itu sesuatu yang baik?). Hilanglah suara itu kemudian. Hari kedua ia bermimpi lagi dan ada suara yang berkata padanya; “ihfiril baarroh!” (galilah sesuatu yang bermanfaat!). Hilanglah suara itu kemudian. Hari ketiga ia bermimpi kembali dan ada suara yang mengatakan kepadanya; “ihfiril madhmuunah!” (galilah sesuatu yang terjamin!). Maal madhmuunah? (apa itu sesuatu yang dijamin). Hari ke empat, kembalilah ia bermimpi dan ada suara yang berkata padanya; “ihfiril zam zam!”. Galilah zam-zam!

Perlu diketahui, selama Khuza’ah menguasai Makkah, tidak ada mata air yang mengalir di sana. Air didatangkan dari  luar kota Makkah, membelinya dengan harga mahal. Abdul Muthalib pun berpikir, bahwa ia pernah mendengar kata zam zam. Dalam mimpi ia bertanya; maa zam zam? (apa itu zam zam?). Dijawablah; “sesuatu yang tidak akan pernah rusak, engkau dengannya akan memberikan air kepada para jamaah haji. Tempatnya ada di antara busa (rafts) dan darah bercampur tanah. Di bawa patokannya burung gagak yang memiliki warna keputih-putihan, di sekitar sarang semut”. Bergeraklah Abdul Muthalib dengan membawa cangkul, ia datangi sekitar Ka’bah, karena masyarakat Makkah menganggap bahwa Ka’bah adalah sesuatu yang agung. Antara Hajar Aswad dan Hijr Ismail, antara berhala Isaaf dan Nailah, ada satu suku datang menyembelih sapi.

READ  Sejarah Kabah dan Awal Kemusyrikan di Makkah

Sewaktu disembelih darah mengucur, darah itu berbusa, karena mengucur ia mengalir menuju sekitar Isaaf dan Nailah.  Kemudian darah mengalir ke suatu tempat seperti lembah pasir di tengah-tengah antara berhala Isaaf dan Nailah, dan darah bercampur dengan pasir. Abdul Muthalib berpikir, ini adalah isyarat pertama. Ia temukan burung gagak berbulu putih mengepakkan sayap dan mematuk ke darah tersebut.

Ia berpikir ini isyarat kedua. Isyarat ketiga di sana ada sarang semut, ia melihat ada  beberapa ekor semut mengginggit kakinya. Ia melihat ada lubang. Berkatalah Abdul Muthalib kepada putranya, Harits. “Aku mau menggali di sini, siapapun jangan biarkan menggangguku.” Karena itu di sekitar Ka’bah yang agung, maka menarik perhatian banyak orang di sekitarnya.

Berkumpullah para pembesar Quraisy. Mereka bertanya, apa yang kamu lakuakan wahai Abdul Muthalib. Kemudian Abdul Muthalib memerintahkan Harits untuk menyingkirkan dan menyibukkan para tokoh Quraisy. Dan Abdul Muthalib pun terus mencangkul tanah itu hingga ujung cangkul menyentuh bibir sumur. Atas kuasa Alloh muncratlah air keluar. Allahu Akbar, teriak Abdul Muthalib.

Pemimpin Makkah

Para tokoh Quraisy kemudian mengklaim bahwa air sumur itu adalah milik bersama. Abdul Muthalib menjawab, dari mana bisa milik bersama? Aku yang bermimpi, aku yang menggali, aku yang mendapatkannya, bagaimana bisa jadi milik bersama?! Berseterulah antara Abdul Muthalib dengan para tokoh Quraisy. Ia pun dikeroyok. Mereka sepakat mencari penengah. Mereka mendatangi dukun wanita dari Bani Sa’idah. Ternyata si dukun pergi ke Khaibar.

Mereka pun menyusul si dukun ke Khaibar. Di tengah perjalanan mereka kehabisan air. Mereka bingung, apakah akan melanjutkan ke Khaibar yang tidak jelas atau kembali ke Madinah yang masih cukup jauh. Mereka orang-orang Quraisy sepakat untuk menggali kubur, jika ada yang mati duluan maka temannya yang belum mati akan menguburnya, dan hanya ada satu yang tersisa jika mati maka ia tidak dikubur.

Kecuali Abdul Muthalib, ia tidak setuju dengan ide tersebut. Ia memutuskan untuk kembali ke Madinah, walaupun sendirian. Bergegaslah Abdul Muthalib kembali ke Madinah. Atas kuasa Alloh, dari pijakan unta milik Abdul Muthalib muncrat keluar air.  Diminumlah bersama-sama air tersebut. Salah seorang dari tokoh Quraisy tersebut berkata, demi Alloh, sungguh air yang keluar saat ini adalah seperti air yang keluar di sekitar Ka’bah, maka mata air yang ada di sekitar Ka’bah adalah milikmu wahai Abdul Muthalib. Alloh yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi, memudahkan mata air zam zam ditemukan kembali oleh Abdul Muthalib bukan karena pribadi Abdul Muthalib, akan tetapi karena  keturunan Abdul Manaf yang melayani jamaah haji, sebagaimana dalam mimpinya, memberi minum jamaah haji yang banyak.

Nadzar Abdul Muthalib

Sekembalinya Abdul Muthalib ke Makkah secara tidak langsung dinobatkan sebagai raja Makkah. Mengapa demikian? Karena  Quraisy sepakat bahwa semua kepala suku bisa memimpin. Tidak harus keturunan Abdul Darr atau Abdul Manaf. Ia menjadi orang yang baik, dermawan, pemurah. Semua orang boleh meminum air zam zam. Cukup izin kepadanya.

Abdul Muthalib kemudian berpikir, sewaktu anaknya hanya satu yakni Harits, ia merasa kerepotan. Ia pun bernadzar, jika anaknya laki-laki mencapai sepuluh maka ia akan menyembelih salah satunya. Diqurbankan di depan Ka’bah untuk Alloh. Hal ini tidak disyariatkan oleh Nabi Ismail, ini hanya cara berpikir Abdul Muthalib saja.

Berjalannya waktu, istrinya pun melahirkan banyak anak, 10 laki-laki dan 6 perempuan. Anak terakhir Abdul Muthalib adalah Abdullah. Ia pernah bernadzar untuk menyembelih salah satu anaknya. Ia pun mendatangi dukun. Nama-nama anaknya pun kemudian ditulis di batu. Akhirnya diacak, dan yang keluar adalah nama Abdullah.

Berat hati Abdul Muthalib jika harus mengqurbankan Abdullah, karena ia anak bungsu dan paling disayang. Seandainya yang keluar bukan nama Abdullah, maka ia rela langsung mengqurbankannya. Setelah diacak tiga kali, dari sepuluh nama anak Abdul Muthalib, yang keluar selalu nama Abdullah. Kemudian Abdullah dibawa ke Ka’bah.

Di bawah Ka’bah, Abdullah hendak disembelih akan tetapi berduyun-duyun orang-orang Quraisy melarangnya. Wahai Abdullah, sadarlah! Engkau adalah pemimpin suku, jika engkau melakukan hal demikian maka akan menjadi sebuah tradisi. Setiap orang yang memiliki sepuluh anak laki-laki maka harus ada satu untuk diqurbankan, apa kenikmatannya menyembelih seorang anak, kata Quraisy. Akhirnya mereka berhukum.

Mereka mendatangi dukun wanita dari bani Sa’idah di Madinah. Tentunya ini zaman sebelum Islam, Islam dengan tegas nan lugas mengharamkan perdukunan. Bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan; barangsiapa yang mendatangi dukun dan bertanya, maka tidak akan diterima sholatnya selama 40 hari. Kemudian dukun itu bertanya, “berapa dhiyat atau denda di Makkah jika membunuh seorang anak manusia?  Sepuluh ekor unta. Tulislah nama Abdullah di sebuah batu dan sepuluh ekor unta di batu yang lain”. Perundian nasib akan berhenti jika tidak keluar nama Abdullah.

Kemudian mereka melakukan perundian. Sepuluh kali selalu nama Abdullah yang keluar dari batu. Setiap sekali keluar nama Abdullah dhiyatnya adalah sepuluh ekor unta. Dengan kejadian ini Abdullah selamat dari diqurbankan, dan dalam sebuah riwayat Nabi saw. Pernah berkata; ana ibnudz dzaabihain, aku adalah anak dari dua orang yang hampir diqurbankan, yakni Nabi Ismail a.s. dan Abdullah.

Abdullah tumbuh dewasa

Berjalannya waktu, Abdullah tumbuh besar menjadi pemuda cerdas, rajin membantu orang tuanya. Dinikahkanlah Abdullah oleh ayahnya, dengan seorang wanita bernama Aminah, masih turunan Abdul Manaf, masih sepupu dengan Abdullah. Hanya saja paman-paman Aminah merupakan penduduk asli Madinah, suku Aus dan Khazraj. Maka Nabi saw. memiliki dua jalur suci, Makkah dan Madinah. Setelah menikah, ada tanda-tanda kehamilan dalam dirinya.

Aminah pernah bermimpi, bahwa bayi dalam kandungannya menyebarkan cahaya.  Bahkan cahaya itu sampai ke seluruh muka bumi, dalam sebuah atsar disebutkan sampai ke Bushro atau Bashroh. Dan ia juga bermimpi, dalam mimpinya ia mengucapkan sebuah kalimat; aku berlindung kepada Alloh yang Maha Agung  untuk bayi ini dari segala keburukan dan hasad. Ketika usia kandungan Aminah berjalan enam bulan, Abdullah meninggal dunia. Maka Nabi saw. menjadi yatim sebelum lahir.

Kelahiran Nabi Muhammad saw

Setelah itu nabi Muhammad saw. lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah, tepatnya 50 hari setelah tragedi penghancuran  tantara gajah. Ada kejadian unik yang oleh para ahli sejarah angkat sewaktu kelahiran Nabi saw. Di antaranya, terlihatnya bintang Ahmad.

Orang-orang Yahudi di Madinah meyakini nabi terakhir yang mereka tunggu, akan muncul bintang Ahmad sewaktu kelahirannya. Hanya rahib-rahib Yahudi yang mengetahui bagaimana ciri bintang Ahmad tersebut, sebagaimana disebutkan dalam kitab Taurat mereka. Ini dinukil oleh Hasan ibn Tsabit, penyairnya Nabi saw. Umurnya beda tujuh tahun dengan Nabi saw.

Dia menyebutkan, sewaktu Nabi saw. lahir ia menyaksikan rahib Yahudi naik ke benteng dan berteriak dengan keras; “wahai kaum Yahudi, sungguh pada malam hari ini telah terlihat bintangnya Ahmad dan  tidak terlihat melainkan hanya saat dia lahir saja”.

Kejadian unik kedua adalah sewaktu proses persalinan Aminah. Aminah melahirkan tanpa bantuan seorang pun, tanpa kesulitan sedikitpun. Bayi Nabi saw. lahir dengan kepala mengangkat ke langit, seolah seperti sedang bermunajat kepada Rabbnya.

Kejadian unik selanjutnya ialah Nabi Muhammad saw. lahir sudah dalam kondisi terkhitan dan tidak terbebani dengan tali pusar. Dengan ini Abdul Muthalib sangat bangga dengan cucunya.

READ  Sejarah kota Makkah dan Peradabannya di Jazirah Arab

Asal mula nama Muhammad

Dibawalah bayi ini ke Ka’bah dan ia beri nama Muhammad. Sebuah nama yang tidak pernah dikenal sebelumnya dikalangan orang Arab. Adapun sebabnya adalah jauh sebelum Nabi saw. lahir, Abdul Muthalib pernah melakukan suatu perjalanan ke negeri Syam bersama temannya, Sulaiman ibn Mujazi’, Hulailah ibn Hajij, Himron ibn Rabi’ah.

Dalam perjalanan, empat orang ini bertemu dengan seorang pendeta Nasrani, dan ditanya; “dari mana asal kalian? Mereka menjawab; kami dari jazirah Arab, tepatnya di Makkah. Pendeta pun berkata; dari tempat kalian nanti akan muncul nabi yang terakhir. Dan Nabi itu bernama Muhammad.

Abdul Muthalib pun bertanya; dari mana engkau tahu? Kami tahu dari kitab suci kami, Injil.” Maka keempat orang ini sepakat, siapa di antara mereka yang pertama kali memiliki anak atau cucu sekembalinya ke Makkah akan diberi nama Muhammad. Dan dari keempat orang ini, yang dikaruniai anak atau cucu sekembalinya ke Makkah adalah Abdul Muthalib.

Sambil mengelilingi Ka’bah, Abdul Muthalib pun mengangkat bayi Muhammad seraya berujar; “anak ini memiliki perkara besar, aku beri nama Muhammad”. Kejadian unik kelahiran Nabi saw. selanjutnya adalah goncangnya istana Qisra Persia dan 14 tiang teras istananya roboh, tanpa sebab. Pada saat melihat hal itu, Qisra bertanya kepada dukun-dukunnya. Dukunnya berkata; “goncangnya istana ini karena bersamaan dengan lahirnya seorang nabi. Dan runtuhnya 14 tiang istananya menandakan hanya ada 14 raja Persia yang akan tersisa”.

Tanpa membenarkan ramalan ini, tentunya kita dilarang mempercayai ramalan, karena datangnya ramalan adalah syaiton mencuri berita dari langit, bukan karena para dukun itu tahu. Setelah mengetahui asbab ini, dalam kurun waktu 4 tahun terjadi 10 pergantian raja (Qisra).

Anak keturunan Qisra berebut tahta, mereka saling bunuh. Dan puncaknya, raja Persia yang ke-14 mati di zaman khilafah sahabat Umar ibn Khattab r.a. Kejadian unik selanjutnya adalah matinya api sesembahan kaum Majusi di beberapa titik. Pada saat Nabi saw. lahir, semua api Majusi itu mati. Tidak ada api sesembahan di sana. Setiap mereka hendak menyalakan api, api tersebut padam. Mereka berusaha menyalakan api namun gagal. Sampai seluruh daratan Persia yang menyembah api waktu itu tidak ada nyala api.

Sampai runtuhnya Persia di zaman Umar ibn Khattab r.a. tidak ada api sesembahan (api untuk disembah). Kejadian selanjutnya adalah hanyutnya air sungai Sawa’ di Persia. Mereka menganggap air sungai itu suci, mereka mengeramatkannya, bahkan ada praktek tumbal untuk sungai ini. Semenjak Nabi saw. lahir, sungai ini kering, hingga akhirnya orang-orang Persia pun melupakannya.

Halimah Sa’diyyah

Kejadian unik penting selanjutnya adalah berkaitan dengan Halimah Sa’diyah. Sebuah tradisi Quraisy, mereka selalu menitipkan bayi-bayi mereka yang baru lahir selama 2 tahun ke daerah badui. Ada beberapa alasan mengapa mereka menitipkan bayi mereka. Alasan yang pertama ialah menjaga kualitas bahasa mereka.

Bahasa arab yang digunakan oleh orang badui adalah bahasa arab fushaa (baku), sedangkan orang-orang kota menggunakan bahasa arab ammiyah (tidak baku), dan ammiyah ini memiliki lahjah yang berbeda-beda sesuai wilayahnya. Dan al-Qur’an al-karim diturunkan menggunakan bahasa arab fushaa. Salah satu penyebab rusaknya bahasa arab fusha Quraisy adalah karena adanya jamaah haji yang lalu lalang mengunjungi Makkah, mereka menggunakan lahjah yang berbeda-beda, sehingga hal ini berpengaruh terhadap bahasa arab Quraisy.

Alasan kedua ialah masalah kesehatan. Udara di wilayah badui lebih sehat, kondisi makanan berasal dari hewan buruan yang langsung disembelih, tanpa diawetkan, dan hal ini berbeda dengan Quraisy. Dan orang badui terbiasa melatih anaknya hidup susah, berburu, membantu orang tua menggembala ternak. Sewaktu kelahiran nabi saw., banyak wanita badui menawarkan jasa sebagai ibu susu. Orang-orang suku Sa’diyah dikenal amanah untuk merawat anak-anak Quraisy.

Datanglah beberapa wanita dari suku Sa’diyah untuk menawarkan jasanya. Pergilah Halimah bersama wanita dari sukunya ke Makkah bersama suaminya, Harits. Kehidupan ekonomi Harits sangat miskin waktu itu. Mereka tinggal di sebuah rumah dengan bangunan tua. Keluarganya hanya memilki seekor unta yang kurus, dan 2 ekor kambing jantan betina yang kurus pula, tidak produktif.

Ditambah mereka punya anak yang cukup banyak. Mereka pergi ke Makkah untuk mengundi nasib, barangkali berubah nasib mereka. Wanita dari suku Sa’diyyah pun keliling menawarkan jasa mereka. Semua menawarkan diri pada orang-orang kaya Quraisy, dan pada saat mereka melewati bayi Nabi saw. mereka menolak untuk merawat, karena mereka tahu bahwa bayi Nabi saw. tidak memiliki ayah, siapa yang akan menanggung.

Abdul Muthalib memang raja Makkah, tapi ia sibuk membiayai jamaah haji. Tinggal Halimah seorang diri yang tidak memperoleh bayi susu. Harits, suaminya menyarankan untuk mengambil bayi Muhammad saw., barangkali ada nasib baik yang bisa merubah kehidupan mereka. Akhirnya Halimah mengambil bayi Muhammad untuk dirawat ke badui, daripada pulang dengan tangan hampa. Seketika mulai ada perubahan pada nasib keluarga Halimah.

Ketika pergi ke Makkah mereka mengendarai keledai kurus yang jalannya sangat lambat dan hanya bisa ditunggangi satu orang saja.  Bahkan mereka diolok-olok oleh kaumnya karena begitu lambatnya tunggangan mereka.  Maka ketika pulang ke sukunya keledai itu lari kencang sampai sulit untuk dikendalikan. Harits pun memegang tali kekang untuk mengendalikan keledai bersama istrinya. Keledaipun berlari dengan kencang, meninggalkan kaumnya.

Setelah sampai di rumah tiba-tiba unta betinanya gemuk, kantung susunya penuh, padahal tidak ada yang mengurus. Ia bisa memberikan banyak susu untuk dibagi pada keluarganya, bahkan setiap selesai diperah kantung susu unta tersebut kembali penuh. Adapun dua ekor kambing jantan dan betina tadi tiba-tiba gemuk dan beranak-pinak menjadi banyak. Karena banyaknya jumlahnya, ia jual Sebagian dan dibelikan seeokr unta jantan. Dikawinkanlah unta betina yang menghasilkan susu tadi dengan unta jantan yang baru saja dibeli.

Dalam kurun waktu yang tidak lama, hewan ternak milik Halimah, unta dan kambinya berubah menjadi banyak. Bahkan memenuhi lembah di daerah mereka. Ekonomi keluarga harits berubah pesat, mereka menjadi orang terkaya di sukunya. Sampai akhirnya Halimah tidak lagi menawarkan jasa persusuannya. Berkah yang luar biasa.

Dinukil dalam buku-buku sejarah, Muhammad telah tumbuh tidak secara alami. Tidak seperti anak-anak sebayanya.   Pada saat umurnya 2 tahun perilaku dan pemahamannya seperti anak usia 6 tahun. Muhammad tidak pernah membuat marah, tidak pernah menyusahkan orang lain, mudah diberikan penjelasan.

Saat usia 2 tahun, masa pengembalian, Muhammad dibawa ke Makkah untuk dikembalikan. Akan tetapi, Harits dan Halimah memohon kepada Aminah supaya Muhammad tetap dirawat oleh mereka, bahkan mereka tidak menuntut upah karena keberkahan merawat Muhammad. Aminah pun mengizinkan. Ada suatu kjadian di usia Muhammad 6 tahun. Muhammad didatangi 2 orang laki-laki menjatuhkannya ke tanah, membelah dadanya, dan mengeluarkan sesuatu yang hitam darinya, lalu kemudian menutupnya kembali. Halimah pun memastikan ternyata benar ada bekas jahitan di dada Muhammad. Halimah ketakutan. Kemudian dia dan suaminya berupaya untuk mengembalikan Muhammad ke Makkah.

Muhammad kecil kembali ke Makkah

Usia 6 tahun, Muhammad kembali ke pangkuan ibundanya Aminah. Tepat beberpa bulan setelah Kembali ke Makkah, Aminah mengajak Muhammad ke Madinah.  Mengunjungi paman-paman Aminah di Madinah.

Tinggal beberapa hari setelah di Madinah dan hendak menuju Makkah, di suatu tempat  bernama Rabwa’ atau ada yang menyebut Abwa’ Aminah jatuh sakit, yang kemudian membawanya pergi meninggalkan dunia selama-lamanya. Muhammad kecil duduk termenung di bawah sebuah pohon dan menangis. Lengkap sudah penderitaan hidupnya. Kini ia tidak memiliki ayah ataupun ibu.

Muhammad diasuh kakeknya

Pulanglah Muhammad ke Makkah bersama pembantunya Ummu Ayman untuk diserahkan ke kakeknya, Abdul Muthalib. Abdul Muthalib merawat Muhammad sampai usia 8 tahun. Di sini, Muhammad belajar banyak sekali dari Abdul Muthalib. Salah satunya tentang kepemimpinan. Di mana ada kakeknya, di situ ada Muhammad.

READ  Masuknya Agama Yahudi dan Nasrani ke Jazirah Arab

Terutama ketika berada di majlis Darun Nadwah, Muhammad selalu didudukkan di sampingnya. Bahkan di tempat itu, Abdul Muthalib memiliki tempat duduk khusus di mana tidak ada seorang pun yang boleh mendudukinya termasuk anak-anaknya. Terkecuali oleh Muhammad. Ia diperbolehkan.

Muhammad diasuh pamannya

Usia 8 tahun, kakek Muhammad meninggal. Hak asuh diambil alih oleh Abu Thalib. Paman Muhammad yang mewarisi kepemimpinan Abdul Muthalib. Tapi ia miskin. Banyak anak. Abu Thalib merawat Muhammad dari usia 8 tahun sampai dewasa. Muhammad selalu membantu pamannya, salah satunya menggembala kambing. Muhammad memiliki akhlaq perilaku yang sangat baik sangat mulia. Sampai sampai Abu Thalib malu kepadanya.

Abu Thalib memiliki banyak anak. Ketika istrinya menyiapkan makanan, anak-anaknya berebut makanan. Muhammad duduk diam di sudut rumah, tidak ikut berebut makanan. Jika ada sisa makanan setelah selesai baru ia ambil, ia makan. Abu thalib pun berkata kepada istrinya; “khusus untuk Muhammad sisihkan sebagian karena ia tidak ikut berebut makanan. Muhammad memilki akhlaq yang sangat baik. Dia selalu pemalu. Tidak banyak meminta.

Muhammad kecil bertemu Bahiroh

Usia 12 tahun, pernah suatu waktu Abu Thalib hendak berniaga ke negeri Syam. Muhammad merengek, bergantung di baju Abu Thalib ingin ikut berniaga. Tidak seperti biasanya. Setelah berbicara dengan  istrinya, Abu Thalib bersedia membawa Muhammad ke negeri Syam.

Pergilah Abu Thalib bersama kafilahnya. Ada sebuah kejadian unik. Sebelum sampai ke negeri Syam, kafilah ini melewati sebuah gereja. Di situ ada seorang pendeta bernama Bahiroh (Buhairoh). Bahiroh sedang menunggu setiap kafilah lewat, terutama yang dari jazirah Arab. Kafilah adalah setiap kelompok yang terdiri dari tiga unta atau lebih.

Secara kebetulan, dengan hikmah ilahi, kafilah Abu Thalib lewat. Berbeda dengan kafilah pada umumnya, kafilah Abu Thalib dinaungi awan dalam perjalannya dan kafilah Abu Thalib singgah di sebelah gereja di mana pohon-pohon kurma di dekatnya seolah menundukkan daunnya ke kafilah tersebut.

Pendeta ini mengamati. Dia mengirim utusannya untuk mencari tahu. Ditanya kafilah dari mana, dijawab oleh Abu Thalib kafilah dari jazirah Arab, tepatnya Makkah. Bahiroh pun kemudian mengadakan perjamuan makan dan mengundang kafilah Abu Thalib. Semua anggota kafilah masuk, hanya Muhammad yang ditinggalkan untuk menjaga barang. Bagi tradisi Arab, adalah sebuah aib jika diperjamuan makan terdapat seorang anak kecil.

Sewaktu makan, Bahiroh memperhatikan mereka. Kemudian ia bertanya; “masihkah ada yang tidak ikut makan? Iya, dia seorang anak, kami perintahkan untuk menjaga barang kami. Bolehkah aku menemuinya? (kata Bahiroh). Silakan”. Bahiroh pun menemui, dan berkata; “hai anak kecil ikutlah bersamaku sebentar”.

Bahiroh pun menyuruh pembantunya untuk menjaga barang milik kafilah Abu Thalib.  Bahiroh pun berkata; “hai anak kecil aku akan bertanya atas nama Latt dan ‘Uzza”. Perlu diketahui, di Makkah ada berhala bernama Latt dan ‘Uzza. Berhala ini luar biasa pengkultusannya. Ketika orang Makkah hendak bersumpah dengan sungguh-sungguh, mereka menggunakan nama berhala ini.

Hal ini juga terjadi dikalangan anak-anak. Anak usia 12 tahun itu menjawab; “jangan engkau sebutkan dua nama berhala itu, aku membencinya, aku tidak suka”. Penasaranlah Bahiroh. Dia pun mengamati secara detail fisik Muhammad. Mulai dari matanya, alisnya, bibirnya. Ciri fisik Nabi Muhammad saw. itu luar biasa.

Tersebutkan secara rinci dalam Taurat dan Injil, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Ya’rifuunahu kamaa ya’rifuuna abnaa’ahum. Mereka (ahli kitab) mengenali Nabi saw. sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka. Disebutkan dalam hadits, alis mata nabi sw. seperti busur panah yang lebar berwarna hitam dan tebal. Bola matanya besar. Kelopaknya dipenuhi dengan bulu yang lebat.

Bola matanya putih bersih. Hitamnya hitam pekat. Hidungnya mancung. Bibir, dahi dan pipinya setara dengan wajah. Tidak oval tidak juga bulat. Kulitnya sangat putih sampai-sampai pipinya kemerahan. Bahkan ahli hadits sampai mengungkapkan; jikalau Nabi Yusuf diberikan sepertiga kegagahan dunia, maka Nabi Muhammad saw. diberikan kegagahan seluruh dunia.

Tidak ada orang yang tidak suka jika memandang Nabi saw. Manusia terbaik, pilihan. Paling sempurna nasabnya, ilmunya, fisiknya. Bahiroh memperhatikan, dan semua ciri yang disebutkan dalam kitabnya ada pada diri Muhammad. Dia masih bimbang. Setiap nabi pasti punya tanda kenabian, yakni sebuah daging yang menggumpal di pundak sebelah kanan berwarna merah kehitam-hitaman dan memiliki bulu yang lebat.

Dia pun meminta izin kepada Muhammad untuk melihat punggungnya. Dengan izin dari Muhammad, Bahiroh melihat punggungnya. Seketika Bahiroh menciumnya. Ternyata nabi yang ditunggu telah hadir di depannya. Pada saat itu kemudian Bahiroh membawa Muhammad di tempat makan. Ia bertanya kepada rombongan kafilah. “Siapa wali anak ini?

Abu Thalib berkata, aku ayahnya. Tidak mungkin kamu ayahnya, kata Bahiroh. Anak ini yatim sejak enam bulan dalam kandungan ibunya. Dan ibunya meninggal pada saat dia berusia enam tahun. Kemudian dia dibesarkan oleh kakeknya sampai umur 8 tahun. Dan kalau kau benar kerabatnya, kamu pasti pamannya”. Abu Thalib kaget. “Dari mana anda tahu?” “Kami temukan dalam kitab kami. Ketahuilah! Keponakanmu ini adalah seorang rasul terakhir yang sedang ditunggu oleh orang-orang. Dan kalau orang Yahudi tahu bahwa dia dari bangsa Arab, maka pasti mereka akan membunuhnya sebagaimana mereka membunuh Isa a.s. Saranku, cepatlah bawa ia kembali ke Makkah”.

Sesampainya di Makkah, Abu Thalib mendatangi dukun. Abu Thalib ingin dukun itu meramal Muhammad. Dukun itu memandang Muhammad dengan sangat lama, tidak seperti ketika meramal anak pada umumnya. Abu Thalib khawatir, kemudian dia menyuruh seorang utusan membawa pulang kembali Muhammad dan bertitip pesan jangan sampai ada yang tahu dimana keberadaannya Muhammad.

Kembalilah Abu Thalib ke kemah si dukun. Dukun bertanya; “di mana anak itu? Tidak ada seorang pun yang menjawab. Si dukun mengatakan (sekali lagi, di dalam Islam tentu kita tidak akan percaya peramal); anak itu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan akan memimpin dunia”.

Julukan Muhammad al-Amin

Usia 21 tahun Muhammad mulai berbisnis. Muhammad mulai mengambil produk di pasar ‘Ukaz dan dijual Kembali. Di hari pertama ia berdagang, ada salah seorang dari luar Makkah membeli produk Muhammad. Ia pun bertransaksi. Selesai transaksi ia menitipkan barangnya pada Muhammad, ia hendak thawaf sejenak.

 Selepas thawaf, orang yang bertransaksi kelupaan. Ia pulang ke sukunya. Dia lupa kalau sudah transaksi dengan Muhammad. Setelah 3 hari ia baru teringat. Kembalilah ia ke Makkah, perjalanan memakan waktu 3 hari, pulang pergi menjadi 6 hari. Sehingga total 9 hari. Sesampainya di Makkah Muhammad tetap berada dalam posisinya menjaga barang milik orang dari luar Makkah tadi. Ia pun bertanya; “wahai Muhammad!

Apakah selama ini kamu menjaga barangku? Muhammad menjawab; iya”. Seketika orang ini berteriak di pasar, lihatlah wahai kaum di sini ada al-Amin, orang yang jujur di sini. Namanya Muhammad. Jika kalian ingin menitipkan sesuatu kalian bisa menitipkan hal itu padanya. Dia orang yang amanah. Atas kejadian ini Muhammad dikenal di seluruh jazirah arab sebagai orang yang jujur.

Pada akhirnya Muhammad kemudian menjadi pedangang yang sukses. Perniagaannya bertambah besar. Banyak kemudian orang-orang mengamanahkan kepadanya. Termasuk Khadijah. Dia juga ikut menitipkan barangnya. Salah satu strategi dagang Muhammad adalah dia mengambil uang (tentunya dengan izin empunya) titipan masyarakat Makkah kemudian dibelikan produk dan dijual di negeri Syam. Penjualan di negeri Syam dibelikan produk negeri Syam dan dijual kembali ke Makkah. Hal ini lah yang membuat Muhammad untung banyak. Setelah itu Muhammad menjadi salah satu orang terkayanya Makkah.