Pilihan Rakyat: Sengketa Pemilu dan Hak Angket

indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Pemungutan suara Pemilu 2024 telah berakhir, meskipun masih terdapat beberapa pemungutan suara lanjutan akibat bencana alam seperti banjir, serta adanya pemungutan suara ulang berdasarkan rekomendasi Panwascam (Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan) di beberapa wilayah karena adanya dugaan pelanggaran aturan dalam proses pemilihan umum.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya sedang berupaya keras untuk menyelesaikan perhitungan dan menetapkan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Pilihan Rakyat periode 2024-2029. Proses ini juga menentukan Anggota DPR, DPD RI, dan anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Berdasarkan Pasal 13 Huruf (d) dan (e) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU memiliki wewenang untuk menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional serta menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu tersebut.

Dalam penantian masyarakat mengenai siapa Capres-Cawapres terpilih yang akan ditetapkan sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden, tiba-tiba berbagai media cetak dan elektronik mengabarkan bahwa Ganjar Pranowo, Capres No. Urut 03, mengusulkan agar DPR RI menggunakan hak angket untuk mempersoalkan pelaksanaan Pemilu 2024 karena dianggap penuh dengan kecurangan.

Pertanyaannya kemudian, apakah benar semata dikarenakan dugaan bahwa dalam Pemilu 2024 telah terjadi kecurangan yang sistematis sehingga perlu dijalankannya hak angket di DPR, ataukah lebih sebagai ekspresi ketidakpuasan karena rakyat tidak memilihnya untuk duduk di kursi Presiden yang akan datang?

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak angket dan apakah hak angket tersebut merupakan instrumen hukum yang tepat untuk mempertanyakan isu-isu terkait proses dan hasil pemilu?

Cukup banyak pakar hukum tata negara yang tidak setuju atas penggunaan hak angket seperti pendapat Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. Andi M. Asrun, Margarito Kamis, dan bahkan Mahfud MD yang menyatakan bahwa hak angket tidak bermanfaat bagi Paslon karena lebih bersifat langkah politik partai politik di Parlemen.

Selain untuk ikut menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini juga merupakan bentuk keprihatinan penulis atas sikap sejumlah elit politik dan bahkan yang menganggap dirinya ahli hukum yang secara diam-diam maupun terang-terangan bersikap dua muka dalam pelaksanaan pemilu Indonesia 2024. Di satu sisi, mereka menyatakan mengerti dan siap untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden dengan berlandaskan serta tunduk pada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku, siap menang dan siap kalah.

Di sisi lain, ketika tanda-tanda kekalahan mulai muncul, berbagai isu seperti hak angket pun mulai mencuat. Salah satunya adalah kemunculan sebuah film berjudul Dirty Vote (11/02/2024) yang dihadirkan sebagai dokumenter, namun jika ditonton secara keseluruhan, film tersebut dianggap tidak layak disebut sebagai dokumenter karena tidak mampu menjelaskan fakta-fakta sebenarnya. Film ini hanya berisi potongan “puzzle” gambar dengan narasi yang tidak relevan, kemudian menyimpulkan adanya skenario-skenario jahat dalam Pemilu 2024.

Pilihan Rakyat

Versi hitungan cepat (Quick Count) dari berbagai Lembaga survei menunjukkan Pasangan Calon 02 Prabowo-Gibran unggul sebagai Capres/Cawapres terpilih dengan perolehan suara sekitar 57-58%, diikuti oleh Anis-Muhaimin dengan perolehan suara 24-25% dan Ganjar-Mahfud dengan 16%. Hingga saat penulisan ini, perolehan suara versi Quick Count ini ternyata cukup dekat dengan hasil hitung resmi KPU (real count), di mana Prabowo-Gibran meraih suara 58,83%, Anis-Muhaimin 24,37%, dan Ganjar-Mahfud 16,18%. Banyak pihak memprediksi bahwa Presiden dan Wakil Presiden Pilihan Rakyat untuk periode 2024-2029 adalah Prabowo-Gibran (CNBC Indonesia, 25 Februari 2024).

READ  Akademisi: DPR Dilarang Batalkan Hasil Pemilu

Gambaran perolehan suara di atas menjelaskan pilihan rakyat atas siapa yang mereka inginkan sebagai Capres-Cawapres atau Pemimpin mereka untuk masa bakti 2024-2029, yang mana seharusnya dihormati dan tidak diciderai dengan memunculkan wacana hak angket tersebut. Mungkin ada pihak-pihak yang menganggap bahwa masyarakat yang selama ini lebih banyak diam dapat diarahkan dan diprovokasi melalui berbagai manuver dan penyebarluasan isu-isu yang mengarah kepada penjatuhan kredibilitas berupa fitnah, pelecehan dan bentuk-bentuk bullying lainnya serta agar tidak memilih Paslon Capres-Cawapres tertentu, yang terasa begitu memuncak menjelang hari-hari pemungutan suara.

Faktanya, metode-metode yang tidak bermartabat tersebut tidak berhasil, dan rakyat telah menentukan pilihannya pada pemimpin sesuai dengan hasil Quick Count Lembaga Survey dan Real Count KPU.

Namun demikian, terkait dengan hasil akhir siapa yang benar-benar dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden dalam Pemilu 2024, tentu kita harus menghormati dan menunggu pengumuman resmi KPU selaku penyelenggara sah Pemilu.

Sengketa Pemilu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari setiap pesta demokrasi yang diselenggarakan di negara kita. Kali ini, sengketa pemilu telah mewarnai suasana setelah penetapan hasil Pemilu 2024.

Adalah keniscayaan atau suatu kepastian apabila dalam setiap kontestasi Pemilu di negara mana saja, termasuk Pemilu di Indonesia, akan menghasilkan Pasangan Capres-Cawapres yang menang dan pasangan yang kalah. Persoalannya adalah sejauh mana pihak yang kalah dan partai politik yang mendukungnya bersedia berendah hati atau legowo untuk menerima kekalahan tersebut.

Namun demikian, jika pihak yang kalah merasa terjadi kecurangan atau pelanggaran dalam pemilu, UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No 7 Tahun 2023 Tentang Perubahannya memberikan hak dan koridor bagi pihak-pihak yang ingin mempertanyakan kecurangan atau pelanggaran tersebut.

Sengketa Pemilu itu dapat bermacam-macam bentuknya. Pertama, ada Pelanggaran Administratif yang bisa dilaporkan ke Bawaslu secara berjenjang mulai dari Tingkat Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi, hingga Tingkat Nasional. Pelanggaran ini meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme terkait dengan administrasi pelaksanaan Pemilu di setiap tahapannya. Ini termasuk jika terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif.

Andaipun pihak-pihak terkait tidak merasa puas dengan keputusan Bawaslu, mereka memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan Pasal 460-466. Setelah keputusan Bawaslu dikeluarkan, KPU diwajibkan untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, termasuk memberikan sanksi diskualifikasi jika diperlukan.

READ  Legislator PKB dan NasDem Ungkap Sikap Setelah Diisukan Sebagai Pengusul Hak Angket

Kedua, sengketa seputar proses pemilu juga dapat diajukan ke Bawaslu. Sengketa ini meliputi perselisihan antara peserta pemilu serta perselisihan antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat keputusan KPU, baik tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota (Pasal 467-472).

Ketiga, dalam proses sengketa Perselisihan Hasil Pemilu yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, terdapat perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Khusus untuk Capres-Cawapres, sengketa ini mencakup perselisihan penetapan suara yang memiliki potensi mempengaruhi hasil akhir Pemilu Presiden dan wakil presiden. Dalam konteks ini, pasangan calon berhak untuk mengajukan keberatan kepada MK paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan wakil presiden oleh KPU, hanya untuk suara yang dianggap memengaruhi keputusan terpilihnya pasangan calon (Pasal 473-475).

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, termasuk dalam memutus perselisihan terkait hasil pemilihan umum.

Selain pelanggaran administratif dan sengketa pemilu tersebut, UU Pemilu juga mengatur mengenai Tindak Pidana Pemilu. Ini termasuk perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu, yang kemudian dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam Gakkumdu.

Cukup banyak ragam dan bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu yang diantaranya adalah: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih; Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau Peserta Pemilu, atau Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye”. Ketentuan mengenai pidana Pemilu diatur dalam Pasal 476 sampai dengan Pasal 554.

Kontroversi yang sering muncul terkait dengan sengketa pemilu adalah sejauh mana suatu kecurangan dapat mempengaruhi hasil pemilihan umum dan bagaimana hukum dapat memberikan keadilan terbaik bagi semua pihak yang terlibat.

Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting sebagai lembaga peradilan tersendiri yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa hasil pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap final dan mengikat, sehingga menimbulkan berbagai pertimbangan dan dampak dalam wacana hak angket.

Hak Angket menjadi topik yang hangat dalam diskusi terkait perselisihan pemilu yang tengah terjadi. Hak Angket sendiri memiliki peranan penting dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan umum.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak angket? Pengertian Hak angket terdapat di dalam Pasal 79 Ayat (3) UU N. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

READ  Membongkar Teori Konspirasi di Balik Hak Angket

Kewenangan mengenai hak angket merupakan hak yang diberikan kepada DPR berdasarkan UUD 1945, terutama dalam Pasal 20A UUD 1945, yang memungkinkan lembaga tersebut untuk melaksanakan fungsinya selain hak interpelasi serta hak menyatakan pendapat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal tersebut.

Melihat isi dari Pasal 79 ayat (3), penggunaan hak angket oleh Ganjar Pranowo untuk menyelidiki dugaan kecurangan terlihat kurang tepat.

Paling tidak terdapat tiga alasan yang dapat penulis kemukakan, yaitu: Pertama, berbagai hal yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran administratif, dugaan kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilu, maupun atas sengketa hasil sudah diatur termasuk mengenai mekanisme dan teknis penyelesaian sengketa dalam sebuah undang-undang yang bersifat khusus (Lex Specialis) yakni UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahannya. Sehingga, apabila ada peserta pemilu yang ingin melakukan upaya hukum terkait sengketa hasil Pemilu, harus dilakukan melalui Bawaslu, PTUN, atau ke Mahkamah Konstitusi.

Kedua Hak Angket di dalam Undang-Undang MD3 memiliki rumusan yang sangat umum dan tidak ditujukan untuk bidang tertentu seperti Pemilu. Hal ini menjadikan pelaksanaan hak angket tersebut menjadi tidak jelas, sehingga tidak akan memberikan dampak yang signifikan pada hasil Pemilu 2024.

Ketiga, perdebatan mengenai Hak Angket oleh sejumlah elit politik, jika diikuti oleh anggota DPR tertentu, mungkin hanya akan membuat mereka terperangkap dalam situasi yang sulit. Mereka berpotensi kehilangan popularitas di mata masyarakat. Saat rakyat sudah menjalankan hak pilihnya dalam Pemilu dan memilih Capres-Cawapres serta Caleg pilihannya, elit dan partai politik masih terus bermain-main dengan wacana Hak Angket yang pada akhirnya hanya akan memboroskan energi bangsa tanpa hasil yang signifikan.

Apalagi faktanya suara Ganjar-Mahfud jauh tertinggal dan berjarak sekitar 42 persen dari Paslon Prabowo-Gibran, kemungkinan Ganjar mengangkat isu hak angket untuk mempertanyakan keabsahan perolehan suara yang ada.

Jauh lebih baik sebenarnya, bagi pihak-pihak yang mempersoalkan adanya dugaan kecurangan atau dugaan penggelembungan suara untuk mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dan shahih untuk diserahkan ke Bawaslu atau PTUN maupun Mahkamah Konstitusi apabila hendak melakukan upaya hukum yang sungguh-sungguh, dengan mengingat adagium Actori In Cumbit Probatio, siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan.

Dr. Sulaiman N. Sembiring, seorang ahli Hukum Tata Negara dan Praktisi Hukum, membahas perihal pentingnya partisipasi rakyat dalam pemilihan umum serta tantangan yang muncul terkait sengketa pemilu.

Sesuai dengan hasil pemilu yang telah dilakukan, suara rakyat telah memberikan mandat kepada pihak yang dipilih. Namun, muncul sengketa terkait validitas pemilu yang mengundang diskusi hangat terkait keadilan dan transparansi proses pemungutan suara.