Hak Angket Terkeliru (Manfaat)

indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Wacana mengenai hak angket sedang hangat diperbincangkan saat ini. Semuanya bermula dari pernyataan yang disampaikan oleh Ganjar Pranowo kepada para awak media. Ganjar menyoroti pentingnya menjaga transparansi dalam proses demokrasi, terutama dalam menghadapi dugaan kecurangan di dalam pemilu.

Kemampuan Ganjar dalam menggunakan kata “diselidiki” sangat berkaitan erat dengan pentingnya hak angket. Hak istimewa yang dimiliki DPR ini memungkinkan mereka untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai implementasi undang-undang dan kebijakan pemerintah. Definisi “pemerintah” dalam konteks ini tidak terbatas pada instansi tertentu, melainkan bersifat inklusif.

Pemaknaan tersebut dapat dirujuk pada Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Dalam putusan ini, MK mengartikan pemerintah yang menjadi objek hak angket dari perspektif fungsinya. Menurut MK, selama instansi pemerintah menjalankan fungsi dalam domain eksekutif, maka ia dapat menjadi objek hak angket.

Merujuk pada putusan tersebut, usulan yang diajukan oleh Ganjar sama sekali tidak salah. Ketika Ganjar mengusulkan KPU dan Bawaslu sebagai objek hak angket, Putusan MK nomor 36 memberikan legitimasi hukum. Sebagai institusi yang menjalankan fungsi eksekutif, KPU dan Bawaslu dapat menjadi objek hak angket.

Kini, rapat telah berakhir dengan kesepakatan yang menggembirakan. Dukungan untuk hak angket telah diberikan oleh empat partai politik di parlemen, yaitu PDIP, Nasdem, PKS, dan PKB. Keempat parpol tersebut memiliki total 295 kursi di DPR, atau sekitar 51,3 persen dari total kursi DPR. Dengan persentase dukungan sebesar itu, implementasi hak angket diharapkan dapat berjalan lancar tanpa hambatan berarti.

Pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas mengenai kesalahpahaman dalam hak angket. Sekarang, mari kita bahas manfaat yang dapat diperoleh dari situasi tersebut.

READ  AHY Mendorong TNI Mematangkan Rencana Transformasi-Modernisasi Pertahanan RI

Pentingnya menggunakan hak angket sering kali disalahartikan oleh banyak orang. Mereka tidak sepenuhnya memahami dan mengapresiasi manfaat dari hak angket yang diperkenalkan oleh Ganjar Pranowo.

Nahasnya, orang-orang yang salah paham itu membuat saya mengernyitkan dahi. Karena mereka adalah orang yang sudah mahir dengan seluk beluk dunia hukum. Bahkan, bisa dikatakan bahwa mereka adalah panduan utama dalam dunia hukum.

Salah satu individu yang terjerat dalam kesalahpahaman tersebut adalah Mahfud MD. Beliau dikenal sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, anggota DPR, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Calon Wakil Presiden, sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara. Pada konteks ini, perlu dicatat bahwa pernyataan yang menimbulkan kesalahpahaman adalah saat beliau menyatakan bahwa hak angket tidak memiliki kewenangan untuk meredakan hasil dari suatu pemilihan umum.

Baru-baru ini, saya juga menyaksikan pernyataan yang serupa dari Yusril Ihza Mahendra. Pernyataan itu diucapkan di channel Youtube Total Politik. Ia mengatakan bahwa hak angket tidak dapat membatalkan hasil pemilu. Karena, wewenang membatalkan hasil pemilu merupakan wilayah Mahkamah Konstitusi (MK) bukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pernyataan keduanya mengenai pembatalan hasil pemilu telah terbukti benar. Tidak ada kesalahan dalam pernyataan tersebut dan saya sepakat dengan pendapat mereka. Mahkamah Konstitusi (MK) memang menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan membatalkan hasil pemilu sesuai dengan ketentuan yang tegas di Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tapi, memahami maksud penggunaan hak angket hanya untuk membatalkan hasil pemilu adalah kekeliruan. Mengapa saya katakan demikian? Karena, tujuan utama hak angket adalah membongkar skandal dugaan kecurangan pemilu terlepas dari hasil pemilu akan dibatalkan atau tidak.

READ  Legislator PKB dan NasDem Ungkap Sikap Setelah Diisukan Sebagai Pengusul Hak Angket

Adanya isu kecurangan dalam Pemilu 2024 telah menyebar dan menjadi perbincangan hangat di berbagai platform, terutama di media sosial setelah film berjudul Dirty Vote karya Dandhy Laksono dirilis pada 11 Februari 2024.

Film yang telah ditonton oleh 20 juta orang itu mengungkap kebobrokan Pemilu 2024. Di dalamnya terdapat kumpulan bukti-bukti tentang dugaan kecurangan pemilu. Diperankan oleh trio pakar hukum tata negara, film ini menggambarkan bagaimana penguasa memanfaatkan kekuasaannya demi keberhasilan dalam pemilu.

Sebagai seorang peneliti film, saya sangat paham dari mana informasi yang saya peroleh. Hampir semua sumber data dapat diakses oleh siapa pun. Sumber data utamanya berasal dari internet. Namun, hanya rekaman suara komisioner KPU Minahasa Tenggara dan stafnya yang bersifat eksklusif.

Saya sangat yakin masih banyak kecurangan yang tersembunyi. Entah sengaja disembunyikan atau karena ada ketakutan untuk membongkarnya.

Di sinilah manfaat dari hak angket yang sering luput dari perhatian, seperti yang disampaikan oleh dua profesor hukum sebelumnya. Melalui proses penyelidikan berdasarkan hak angket, saya meyakini bahwa DPR memiliki kesempatan untuk membongkar kecurangan yang tersembunyi.

Penjelasan ini berangkat dari ketentuan mengenai hak angket; DPR memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dari siapapun. Pemanggilan tersebut dapat dilakukan secara paksa dan bahkan disertai dengan penyanderaan.

Mengetahui hak angket secara jelas sangat penting untuk menghindari salah kaprah dalam interpretasi aturan yang ada.

Kekuasaan yang dimiliki oleh DPR memungkinkan mereka untuk menggali informasi secara lebih luas. Informasi tidak hanya yang bersifat terbuka, tetapi juga yang tertutup dapat diakses. Hal ini membuat DPR lebih mudah dalam mengungkap segala praktik kecurangan yang terjadi dalam pemilu, bahkan hingga ke akar-akarnya.

READ  Prabowo dan Jokowi Mengaku Saling Bergetar

Dalam konteks penegakan keadilan dan transparansi, penting untuk mempertimbangkan manfaat dan kekurangan yang terkait dengan hak angket. Sebagai contoh, jika ditemukan adanya kecurangan dalam pemilu, proses pengungkapan kecurangan hanya terjadi dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketika kecurangan hanya dibongkar di persidangan MK, kemungkinan kecurangan tersembunyi akan sulit diungkap. Hal ini disebabkan oleh tuntutan pembuktian yang dibebankan kepada penggugat yang mungkin tidak memiliki kewenangan setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Rino Irlandi, seorang mahasiswa Program Magister Hukum Kenegaraan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sedang menjalani magang di Firma Hukum Themis Indonesia.