indotim.net (Jumat, 08 Maret 2024) – Seluruh sekolah di Gaza, Palestina telah ditutup sejak serangan brutal dilakukan Israel pada Oktober 2023. Laporan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) menyebut, sekolah yang hancur atau rusak telah mencapai 345 dan membuat 625.000 siswa berhenti belajar di sekolah.
Kementerian Pendidikan Palestina telah merencanakan peluncuran e-learning bagi siswa di sekolah Gaza. Pengajaran ini direncanakan diselenggarakan dari Tepi Barat yang diduduki.
Namun, sistem pembelajaran online nyatanya sulit diterapkan di Gaza. Hal ini disebabkan oleh seringnya terjadinya pemadaman telekomunikasi. Di sisi lain, siswa dan guru kesulitan mengakses listrik dan koneksi internet yang stabil.
Kondisi di Gaza membuat e-learning menjadi hal yang tidak mungkin. Amer, seorang guru sains dari Gaza, menyatakan, “Tidak ada tempat berlindung, tidak ada internet, dan tidak ada kondisi yang sesuai,” seperti yang dilaporkan Al Jazeera.
Meski sekolah hancur dan sistem pembelajaran sulit dilakukan, guru dan para pegiat pendidikan tak menyerah begitu saja. Mereka terus melakukan cara agar anak-anak tetap bisa belajar.
Usaha keras dilakukan, terutama oleh guru-guru seperti Asmaa, yang meskipun terbayang bayang ancaman, tetap setia di ruang kelas yang masih bisa digunakan.
Pada akhir Februari 2024, guru-guru di Gaza mulai mendirikan sekolah tenda sebagai upaya untuk menjaga anak-anak Palestina tetap belajar meskipun di tengah kehancuran kota dan serangan Israel yang masih terus berlangsung.
Tetap Belajar di Tengah Kota yang Hancur
Sebagai salah satu guru bahasa Inggris di Palestina, Asmaa Ramadan Mustafa bersikeras untuk tetap mengajar anak-anak di Gaza meskipun kondisi di sana sangat mengkhawatirkan. Bagi Asmaa, kehadiran dan kontribusi di tengah-tengah luka dan kehancuran adalah sebuah panggilan tugas yang tak tergantikan.
Mulanya saat baru menjadi guru, Asmaa berpikir bahwa belajar adalah metode yang mengikuti sistem pendidikan sekolah, berlangsung di ruang kelas, dan kurikulumnya disusun oleh guru.
“Namun apa yang terjadi di Jalur Gaza telah mengubah keyakinan saya tentang hal itu,” ucapnya dalam New Arab, dikutip Jumat (8/3/2024).
Saat ini, Asmaa mengatakan bahwa semua orang di Gaza, baik anak-anak hingga orang tua, harus tetap belajar meski berada di tengah situasi perang.
“Di sini, setiap hari, seribu cerita diceritakan, dijalani, didengar, diajarkan, dan ditulis, seperti seribu luka berdarah. Dari luka kami yang dalam, kami telah belajar, dan kami masih terus belajar, dan kami akan mempelajari apa yang belum dipelajari oleh seluruh dunia,” tutur wanita yang sudah menjadi guru selama enam belas tahun.
Anak-anak di Gaza Telah Dipaksa Menjadi Manusia yang Adaptif
Dengan segala kepiluan yang dialami masyarakat Gaza, Asmaa mengatakan bahwa hal itu telah membuat banyak orang memiliki keahlian dalam menciptakan jalan hidup alternatif.
Keahlian tersebut didapat melalui pengalaman hidup yang sulit, tetapi Asmaa yakin bahwa anak-anak di Gaza bisa berkembang menjadi generasi yang tangguh dan kreatif.
Termasuk tempat tinggal yang berpindah-pindah hingga tempat belajar anak-anak yang seadanya.
Di tengah konflik yang merenggut banyak hal di Gaza, seorang perempuan berani bernama Asmaa tetap tegar menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik. Meskipun kondisi di sekitarnya penuh dengan luka dan kehancuran, Asmaa tidak gentar untuk mengajar anak-anak Gaza yang juga tengah berjuang dalam situasi sulit.
“Terkadang Anda dapat menemukannya di istana mewah, terkadang di tempat penampungan, dan terkadang di tenda pengungsian yang paling sulit dan kejam,” kata guru bahasa Inggris yang pernah dianugerahi gelar ‘Global Teacher of the Year 2020 oleh AKS Education Award Foundation di India.
Guru hebat ini adalah Asmaa, seorang pendidik yang gigih mengajar anak-anak di Gaza meskipun di tengah kondisi yang penuh penderitaan akibat konflik yang berkepanjangan. Asmaa percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka masa depan cerah bagi generasi muda di tengah keadaan sulit seperti di Gaza.
Menurut Asmaa, perang telah memaksa lebih dari dua juta tiga ratus ribu warga Palestina di Gaza untuk belajar secara berbeda.
Di tengah situasi yang sulit, Asmaa tetap gigih memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya. Meskipun bangunan sekolah porak-poranda akibat serangan, semangatnya tak pernah pudar.
Mereka belajar melalui pengalaman, penemuan, dan mempraktikkan apa yang tidak pernah bisa diajarkan sekolah kepada mereka, termasuk ekstrakurikuler.
Keahlian Baru yang Dimiliki Anak Muda Palestina
Faktanya, kondisi di Jalur Gaza membuat anak-anak banyak menemukan keahlian sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi dan saksikan.
Mereka belajar untuk menjadi kuat dan tangguh di tengah situasi yang penuh dengan tantangan. Meskipun luka dan kehancuran menyelimuti lingkungan sekitar, semangat mereka tak pernah padam.
Sebuah keajaiban nyata, di tengah segala keterbatasan, anak-anak Gaza menunjukkan minat yang luar biasa dalam dunia politik.
Ada anak-anak yang berspesialisasi dalam analisis politik sejak usia muda. Bahkan mereka tahu bahasa negara dalam politik apa yang sedang dibahas.
Di tengah situasi yang penuh luka dan kehancuran di Gaza, Guru Asmaa tetap gigih dalam misinya untuk mengajar anak-anak di daerah tersebut.
“Mereka sangat pandai mendengarkan, baik ketika berinteraksi dengan orang dewasa di koridor pusat penampungan maupun di dalam ruang kelas yang kini dipenuhi oleh ratusan ribu orang,” ucap Asmaa dengan penuh semangat.
Asmaa juga menuturkan bahwa kehidupan telah menjadikan perempuan di Gaza sebagai singa betina, anak-anaknya menjadi pahlawan yang penuh keberanian.
Meskipun segala penderitaan dan kehilangan, semangat untuk belajar tidak padam dalam diri anak-anak di Gaza. Mereka tetap menatap masa depan dengan harapan yang membara di hati, seakan melawan segala rintangan yang ada.
Sejak konflik dimulai, keputusasaan menyelimuti kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah segala penderitaan, Asmaa, guru yang penuh dedikasi, masih tegar mengajar anak-anak di Gaza.
“Perang telah mengajarkan kita bagaimana mempertahankan hidup kita di depan tank, di bawah pesawat tempur, di luar rumah yang hancur, dan di tengah jalan-jalan Gaza yang porak poranda,” ungkap Asmaa, yang telah setia bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sejak tahun 2008.
“Hal ini juga mengajarkan kita bagaimana melarikan diri bersama anak-anak kita ke pantai yang aman, dengan selalu percaya bahwa Tuhan adalah pelindung terbaik,” pungkasnya.