Hak Angket: Pemecahan Konflik

indotim.net (Senin, 26 Februari 2024) – Rakyat Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu serentak pada 14 Februari 2024 lalu. Menurut hasil sementara Real Count KPU RI melalui situs resmi pemilu2024.kpu.go.id pukul 16.00 WIB, terlihat progres rekapitulasi suara sudah mencapai 76,83%. Pasangan Prabowo-Gibran memimpin dengan perolehan suara 58,84%, Anies-Muhaimin 24,39%, dan Ganjar-Mahfud 16,77%.

Progres tersebut diketahui berdasarkan suara masuk dari 632.526 tempat pemungutan suara (TPS) dari total 823.236 TPS.

Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, menjadikan Pemilu sebagai salah satu bentuk perwujudan pelaksanaan demokrasi. Indonesia telah berhasil membangun wajah demokrasi ke arah yang lebih baik, mampu membuktikan kepada dunia bahwa pelaksanaan pemilu sebagai wujud demokrasi telah berhasil dilaksanakan tanpa konflik horizontal di masyarakat.

Sejak Pemilu pertama pada era Pemerintahan Soekarno tahun 1955 hingga kini, Pemilu telah diadakan 13 kali. Pemilu serentak antara pemilihan DPR, DPD RI, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota, termasuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) baru dilakukan 2 kali, yaitu tahun 2019 dan 2024.

Menurut Alfian (1978) yang dikutip dalam penelitian Ramlan Surbakti (1999) dalam bukunya bertajuk ‘Memahami Ilmu Politik’, sistem politik demokrasi yang ideal adalah sistem politik yang mampu menjaga keseimbangan antara konflik dan konsensus. Demokrasi memungkinkan adanya perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan di antara individu, berbagai kelompok, individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah.

Kendati begitu, demokrasi hanya bisa mengakomodasi konflik yang tidak merusak sistem. Oleh karena itu, dalam konteks politik demokrasi, sangat penting untuk menciptakan kesepakatan bersama (konsensus) sebagai upaya menyelesaikan konflik.

Kondisi demikian, membutuhkan para kontestan politik tak terkecuali para pasangan calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden diperlukan memiliki sikap negarawan dan jiwa ksatria. Menjadi negarawan dengan jiwa ksatria merupakan panggilan jiwa yang membutuhkan keberanian dan integritas. Tidak menghalalkan segala cara adalah pilar utama dalam membentuk karakter ini.

READ  Beda Mahfud dengan Menteri Siti: Data Deforestasi Mengkhawatirkan

Seorang negarawan sejati tidak tergoda oleh keinginan untuk mencapai tujuan dengan cara-cara yang merugikan orang lain dan kepentingan rakyat banyak. Mereka memilih jalan yang benar meskipun sulit, karena mereka tahu bahwa integritas adalah fondasi dari kepemimpinan yang sejati.

Sebelumnya, kita membahas ujian sikap negarawan dan jiwa ksatria para pemimpin nasional yang akan diuji dengan adanya fenomena hak angket DPR yang mengangkat tentang dugaan pemilu curang.

Kini, tengah terjadi kehebohan di tengah masyarakat terkait hasil dari pengusutan yang dilakukan oleh tim hak angket DPR.

Tentunya hal ini mencerminkan dinamika politik yang semakin tegang di tingkat nasional. Penggunaan hak angket dalam konteks ini seringkali menimbulkan kekacauan politik yang mengkhawatirkan. Tuduhan pemilu curang bisa memicu ketegangan antara partai politik, meningkatkan polarisasi di masyarakat, dan mengganggu stabilitas politik nasional.

Efeknya bisa meluas hingga kepercayaan publik terhadap proses demokratis dan institusi politik terkikis. Kekhawatiran terhadap legitimasi pemerintah dan oposisi dapat memperkuat retorika konfrontatif serta memperdalam kesenjangan politik.

Fokus yang terlalu besar pada konflik politik internal juga dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu penting lain yang memerlukan solusi mendesak.

Di sisi lain, jika maksud dari hak angket DPR adalah untuk membatalkan hasil pemilu, maka perlu diingat bahwa DPR tidak memiliki kewenangan untuk hal tersebut. Jika terdapat indikasi kecurangan dalam proses pemilu, lebih baik melaporkannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK lah yang berwenang memutuskan terkait hal tersebut. Jika MK memutuskan bahwa terdapat kecurangan dalam pemilu, maka MK berhak membatalkan hasil pemilu.

Ketentuan terkait hak angket diatur dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal tersebut menyatakan bahwa hak angket adalah wewenang DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dianggap melanggar peraturan.

READ  Eks Sekjen Kemhan Dukung Ganjar, Jubir Prabowo: Beliau Dekat dengan PDIP

Kemudian berbeda dalam peraturan, mengenai kewenangan MK untuk menentukan perselisihan hasil pemilu diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, di mana putusannya bersifat final. Salah satu hal yang diputuskan adalah perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam konteks ini, penting bagi seluruh pemangku kepentingan politik untuk mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan partikular. Menghormati hasil pemilu adalah manifestasi dari sikap negarawan dan ksatria yang sesungguhnya.

Seorang negarawan yang berjiwa ksatria memahami bahwa pemilu adalah fondasi dari sistem demokrasi yang berfungsi.

Mereka meyakini bahwa proses pemilihan umum merupakan metode terbaik untuk mengetahui kehendak rakyat dan memberikan legitimasi kepada pemerintahan yang terpilih.

Sikap menghormati hasil pemilu menunjukkan kedewasaan politik dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun bisa jadi ada ketidakpuasan atau perbedaan pendapat, seorang negarawan yang berjiwa ksatria tetap menghormati keputusan yang diambil oleh mayoritas pemilih.

Mereka sama-sama menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik serta keamanan negara. Mengikuti aturan main yang telah disepakati merupakan langkah awal yang sejalan menuju perdamaian dan kemajuan bersama.

Terlebih, isu hak angket dituduhkan dengan mendeskreditkan pihak penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu). Berdasarkan UU No. 7/2017 tentang Pemilu bahwa anggota KPU RI dan Bawaslu RI dipilih dan ditetapkan oleh DPR RI. Khusus penyelenggara Pemilu 2024, mereka ditetapkan pada Rapat Paripurna DPR RI ke 16 masa persidangan ke III tahun sidang 2021-2022 yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Dr Hc Puan Maharani dengan menyetujui 7 calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu RI masa bakti 2022-2027.

READ  Rapat Strategis Komisi II DPR: KPU Konsultasi Perubahan Jadwal Pilkada 2024

Artinya jelas hal ini merupakan hak refresentatif para wakil rakyat yang dilimpahkan kepada DPR RI untuk memilih dan menempatkan putra dan putri terbaik Indonesia untuk menduduki jabatan di KPU RI dan Bawaslu.

Dalam menjalankan hak angket tersebut, sikap negarawan elite sangatlah penting. Mereka harus memegang teguh prinsip keadilan dan integritas dalam memilih calon pemimpin lembaga negara. Ini bukan hanya sekadar tugas formal, tetapi juga amanah besar yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab.

Pada situasi politik yang semakin tegang dalam skala nasional, penting bagi para elite dan pemimpin negara untuk menghormati hasil pemilu. Seorang negarawan yang memiliki jiwa ksatria juga memiliki tanggung jawab untuk bekerja keras demi menjaga sistem pemilu yang adil, transparan, dan akuntabel.

Mereka harus siap menerima hasil Pemilu, baik itu sebagai pemenang maupun sebagai yang kalah. Yang terpenting adalah selalu mengutamakan kepentingan nasional di atas segala kepentingan pribadi atau golongan.

Dr. Rasminto, Direktur Eksekutif Human Studies Institute dan Dosen Geografi Politik Unisma, menjelaskan pentingnya hak angket dalam menunjukkan sikap negarawan elite. Hal ini merupakan upaya untuk memperkuat demokrasi dan akuntabilitas pemerintahan.