Korsel Alami Fenomena Menarik, Kenapa Jumlah Kelahiran Rendah?

indotim.net (Kamis, 29 Februari 2024) – Pada suatu sore, Yejin sedang memasak makan siang untuk teman-temannya di apartemennya, tempat dia tinggal melajang di pinggiran Kota Seoul.

Saat sedang makan, salah satu dari mereka menunjukkan meme kartun dinosaurus di ponselnya. “Hati-hati,” kata dinosaurus dalam meme tersebut. “Jangan biarkan dirimu punah seperti kami.”

Yejin dan teman-temannya tertawa.

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang mengalami masalah tingkat kelahiran terendah di dunia. Penurunan drastis ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi dari berbagai kalangan. Sebab-sebab di balik tren menurunnya tingkat kelahiran ini sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor seperti perubahan budaya, ekonomi, dan sosial di negara tersebut.

“Ini lucu tapi ini kenyataan nan kelam. Kami tahu bahwa kami bisa menyebabkan kepunahan kita sendiri,” kata Yejin, seorang produser televisi berusia 30 tahun.

Penurunan tingkat kelahiran yang signifikan di Korea Selatan telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan masyarakat dan pemerintah. Berbagai faktor dapat dikaitkan dengan fenomena ini.

Sebelumnya, kita membahas tentang keputusan seorang wanita Korea Selatan beserta teman-temannya yang memilih untuk tidak memiliki anak. Mereka adalah bagian dari komunitas perempuan yang memilih gaya hidup tanpa anak.

Konteks budaya di Korea Selatan memiliki pengaruh besar terhadap sikap terhadap keluarga. Keluarga dianggap sebagai aspek penting dalam kehidupan, namun semakin banyak wanita yang memilih untuk fokus pada karier dan kebebasan pribadi, tanpa mempertimbangkan peran sebagai ibu.

Tingkat kelahiran di Korea Selatan merupakan yang terendah di dunia dan terus mengalami penurunan, melampaui rekor terendah setiap tahunnya.

Angka yang diumumkan pada Rabu (28/02) menunjukkan penurunan sebesar 8% pada tahun 2023 menjadi 0,7. Angka tersebut merupakan rata-rata jumlah anak yang diharapkan dimiliki oleh seorang perempuan selama hidupnya. Untuk menjaga kestabilan populasi, angka kelahiran idealnya adalah 2,1.

Sebuah tren menunjukkan bahwa Korea Selatan saat ini menghadapi masalah tingkat kelahiran terendah di dunia. Jika kondisi ini terus berlanjut, populasi negara ini diperkirakan akan berkurang setengahnya pada tahun 2100.

‘Darurat nasional’

Negara-negara maju di seluruh dunia mengalami penurunan angka kelahiran, namun tidak ada penurunannya seekstrem seperti yang dialami Korea Selatan.

Proyeksinya sungguh suram. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan drastis dalam tingkat kelahiran di Korea Selatan perlu dipahami dengan seksama. Dalam beberapa dekade terakhir, negara ini mengalami transformasi sosial dan ekonomi yang signifikan, yang berdampak langsung pada keputusan keluarga untuk memiliki anak.

Dalam kurun waktu 50 tahun ke depan, diprediksi bahwa Korea Selatan akan mengalami penurunan jumlah penduduk usia kerja hingga setengahnya. Disamping itu, jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk wajib militer juga diproyeksikan akan menyusut sebesar 58%. Tak hanya itu, hampir separuh dari total populasi Korsel diperkirakan akan berusia di atas 65 tahun.

Hal ini menjadi pertanda buruk bagi perekonomian, dana pensiun, dan keamanan negara sehingga para politisi menyatakannya sebagai “darurat nasional”.

Selama hampir 20 tahun, pemerintah Korsel secara rutin mengalokasikan dana untuk menangani masalah ini, dengan total mencapai KRW 379,8 triliun (setara dengan Rp4.456 triliun).

Pasangan yang memiliki anak diberikan uang tunai: mulai dari bantuan bulanan hingga perumahan bersubsidi dan taksi gratis. Tagihan rumah sakit dan bahkan prosedur bayi tabung ditanggung, meski fasilitas ini hanya bagi mereka yang sudah menikah.

Kondisi ini mengakibatkan tingkat kelahiran di Korea Selatan menjadi yang terendah di dunia. Meskipun pemerintah telah mencoba berbagai insentif finansial untuk mendorong kelahiran anak, namun upaya tersebut terbukti tidak berhasil.

Para politisi pun akhirnya mulai memikirkan solusi “kreatif” dengan menggaji pengasuh anak dari Asia Tenggara di bawah upah minimum. Selain itu, kaum pria yang memiliki tiga anak sebelum usia 30 akan dikecualikan dari wajib militer.

Sebelumnya, statistik mengejutkan muncul dari Korea Selatan (Korsel). Data menunjukan bahwa negara ini mengalami penurunan drastis dalam tingkat kelahiran. Mengapa fenomena ini terjadi?

Beberapa faktor diidentifikasi sebagai penyebab menurunnya tingkat kelahiran di Korsel. Dalam sebuah konferensi pers, Kementerian Komunikasi dan Informatika Korea (Kominfo Korea) menjelaskan bahwa perubahan gaya hidup dan struktur sosial menjadi faktor pemicu utama.

Maukah Anda memiliki anak jika pemerintah menawarkan uang tunai?

Tidak mengherankan jika para pembuat kebijakan dituduh tidak mendengarkan generasi muda terutama perempuan mengenai kebutuhan mereka. Karena itu, selama setahun terakhir kami berkeliling Korsel guna berbicara dengan para perempuan untuk memahami alasan di balik keputusan mereka tidak memiliki anak.

Yejin di apartemen

Korea Selatan saat ini menghadapi masalah serius dengan tingkat kelahiran yang terus menurun. Data terbaru menunjukkan bahwa negara ini memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa Korea Selatan mengalami penurunan drastis dalam kelahiran anak?

Yeijin mengaku terjebak dalam ‘siklus kerja yang terus-menerus’. (Jean Chung)

Situasi yang dihadapi oleh Yeijin adalah cerminan dari kondisi sosial yang dialami oleh banyak warga Korea Selatan. Negara ini dikenal memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa hal ini terjadi?

Ketika Yejin memutuskan untuk hidup sendiri di usia pertengahan 20-an tahun, dia menentang norma-norma sosial. Di Korea Selatan, kehidupan lajang dianggap sebagai fase sementara dalam kehidupan seseorang.

Kemudian lima tahun lalu, dia memutuskan untuk tidak menikah dan tidak mempunyai anak.

Menurut seorang narasumber, “Sulit untuk menemukan pria yang bisa diajak berhubungan serius di Korea, pria yang mau berbagi tugas dan mengasuh anak secara setara. Perempuan yang punya bayi sendirian tidak akan dinilai dengan baik.”

Pada tahun 2022, hanya 2% dari seluruh kelahiran di Korea Selatan terjadi di luar ikatan pernikahan.

‘Siklus kerja yang terus-menerus’

Alih-alih berumah tangga, Yejin memilih untuk fokus pada kariernya di televisi. Baginya, jam kerja di Korea terlalu panjang sehingga tidak memberi cukup waktu untuk membesarkan anak.

Yejin bekerja rutin di kantor dari pukul 09.00 hingga 18.00, tetapi biasanya dia tidak keluar kantor sampai pukul 20.00 malam. Selain itu, dia ada waktu lembur. Sesampainya di rumah, dia hanya punya waktu untuk membersihkan rumah atau berolahraga sebelum tidur.

Pernyataan tersebut datang dari seorang wanita muda yang bekerja sebagai desainer grafis di Seoul. Menurutnya, pekerjaan yang dijalani memberikan kepuasan, namun realitas bekerja di Korea Selatan terkadang terasa sulit karena terjebak dalam siklus kerja yang terus-menerus tanpa jeda yang cukup.

Baca juga:

Sejumlah faktor kompleks diketahui memengaruhi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan. Di antara negara-negara OECD, Korea Selatan memiliki tingkat kelahiran terendah dengan rata-rata 0,84 anak per wanita.

‘Mengapa saya tak ingin punya anak’, pengakuan perempuan di Korea Selatan

READ  Burung Mysterius Unik Setengah Jantan dan Setengah Betina Ditemukan di Kolombia

Yejin mengatakan ada juga tekanan untuk belajar di waktu luangnya agar menjadi lebih baik dalam pekerjaannya: “Orang Korea memiliki pola pikir bahwa jika Anda tidak terus-menerus berupaya mengembangkan diri, Anda akan tertinggal dan menjadi seorang yang gagal. Ketakutan ini membuat kita bekerja dua kali lebih keras”.

“Kadang-kadang pada akhir pekan saya diinfus, hanya untuk mendapatkan cukup energi untuk kembali bekerja pada hari Senin,” tambahnya dengan santai, seolah-olah ini adalah aktivitas akhir pekan yang normal.

Penurunan tingkat kelahiran yang drastis di Korea Selatan telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat setempat. Faktor-faktor apa yang menyebabkan fenomena ini?

Dia juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan setiap perempuan yang saya ajak bicara bahwa jika dia mengambil cuti untuk memiliki anak, dia mungkin tidak dapat kembali bekerja.

“Ada tekanan tersirat dari perusahaan bahwa ketika kami mempunyai anak, kami harus meninggalkan pekerjaan kami,” ujar narasumber. Dia telah melihat hal ini terjadi pada saudara perempuannya dan dua presenter berita favoritnya.

‘Saya tahu terlalu banyak’

Seorang wanita berusia 28 tahun yang bekerja di bagian HRD mengungkapkan bahwa dia terkesan dengan kenyataan bahwa banyak orang harus meninggalkan pekerjaan atau tidak mendapat peningkatan jabatan setelah cuti hamil. Pengalaman tersebut membuatnya yakin untuk menunda keputusan memiliki anak.

Baik ayah maupun ibu memiliki hak atas cuti akumulasi selama satu tahun dalam delapan tahun pertama kehidupan anak. Namun pada tahun 2022, hanya 7% ayah baru yang memanfaatkan cuti tersebut, sementara 70% ibu baru yang melakukannya.

Foto oleh Jean ChungStella mengakui gaya hidupnya yang sibuk membuatnya sulit untuk memiliki anak.

Perempuan Korea adalah perempuan yang memiliki pendidikan tertinggi di antara negara-negara OECD, namun negara ini mengalami kesenjangan upah antargender yang paling buruk. Bahkan proporsi perempuan yang menganggur dibandingkan dengan laki-laki lebih tinggi dari rata-rata.

Para peneliti menyatakan bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa warga Korsel dihadapkan pada tuntutan antara mengembangkan karier atau membentuk keluarga. Semakin banyak individu yang memilih berkonsentrasi pada karier mereka.

Baca juga:

Penurunan signifikan dalam tingkat kelahiran di Korea Selatan telah menarik perhatian para ahli demografi dan pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, negara ini telah mencatat angka kelahiran yang terus menurun, bahkan menjadi salah satu yang terendah di dunia.

  • Resesi seks: Apakah Indonesia kekurangan bayi?
  • ‘Bagaimana kamu bisa berasumsi hidup saya tidak berarti karena saya tidak punya anak?’ – Pengakuan para pasutri yang memutuskan ‘childfree’ di Indonesia

Saya bertemu Stella Shin di lokasi ekstrakurikuler, tempat dia mengajar bahasa Inggris untuk anak usia lima tahun.

“Lihatlah anak-anak. Mereka lucu sekali,” ujarnya. Namun di usianya yang ke-39 tahun, Stella belum memiliki anak sendiri. Itu bukanlah keputusan yang dibuat secara langsung, katanya.

Bagi Stella dan banyak wanita lain di Korea Selatan, menunda pernikahan dan memiliki anak bukanlah sesuatu yang dilakukan dengan mudah. Tekanan dari masyarakat dan sulitnya mencari keseimbangan antara karier dan keluarga seringkali menjadi faktor utama di balik rendahnya tingkat kelahiran di negara ini.

Stella telah menikah selama enam tahun. Dia dan suaminya menginginkan seorang anak tetapi keduanya begitu sibuk bekerja dan bersenang-senang sehingga waktu berlalu begitu saja. Sekarang dia telah menerima bahwa gaya hidupnya membuat hal itu “mustahil”.

Menurut seorang ibu yang wawancara, “Para ibu harus berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka secara penuh selama dua tahun pertama, dan ini akan membuat saya sangat tertekan,” katanya. “Saya mencintai karier saya dan menjaga diri saya sendiri.”

Sebelumnya, kita telah membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan penurunan tingkat kelahiran di Korea Selatan. Sekarang, mari kita fokus pada dampak dari situasi tersebut.

Semakin rendahnya tingkat kelahiran di Korsel berdampak pada struktur demografis negara tersebut. Angka kelahiran yang terus menurun membawa konsekuensi serius bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Harapan bahwa perempuan akan mengambil cuti kerja selama dua hingga tiga tahun ketika mereka mempunyai anak adalah hal yang lumrah di kalangan perempuan. Ketika saya bertanya kepada Stella apakah dia boleh berbagi cuti sebagai orang tua dengan suaminya, dia langsung menatap saya.

Mata cokelatnya menyiratkan kebingungan. “Kenapa saya harus berbagi cuti dengan suami? Bukankah memang tugas ibu untuk fokus pada anak?” tanya Stella dengan raut wajah yang sedikit tersinggung.

Sebelumnya, Korsel pernah mencatatkan rekor tinggi sebagai negara dengan tingkat kelahiran tertinggi di dunia. Namun, saat ini, Korsel justru mengalami penurunan tajam dalam tingkat kelahiran.

Mengapa fenomena ini terjadi?

Menurut Ahn Kyung Hwan, seorang pakar demografi, faktor utama dari penurunan drastis ini adalah perubahan pola pikir masyarakat Korsel terkait dengan perkawinan dan memiliki anak.

Kalaupun dia ingin berhenti bekerja, dia tidak bisa melakukannya karena biaya sewa apartemen terlalu tinggi, tambahnya.

Seoul

Korsel, yang dikenal sebagai salah satu negara maju di Asia, menghadapi tantangan yang cukup unik: tingkat kelahiran rendah. Hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya, mengapa negara ini mengalami penurunan drastis dalam kelahiran?

Biaya sewa rumah atau apartemen yang begitu tinggi membuat sebagian orang sulit punya anak. (Jean Chung)

Lebih dari separuh penduduk Korsel tinggal di Seoul atau sekitar Seoul, yang merupakan kota dengan sebagian besar peluang pekerjaan. Hal ini menciptakan tekanan besar terhadap apartemen dan sumber daya. Stella dan suaminya semakin lama tinggal semakin jauh dari Seoul ke provinsi tetangga dan masih belum mampu membeli rumah atau apartemen sendiri.

Tingkat kelahiran di Seoul telah turun menjadi 0,59, angka terendah di negara tersebut.

Selain biaya sewa rumah, terdapat biaya pendidikan swasta yang juga menjadi faktor yang memengaruhi penurunan tingkat kelahiran di Korea Selatan.

Sejak usia empat tahun, anak-anak dikirim ke berbagai kelas ekstrakurikuler yang mahal – mulai dari matematika dan bahasa Inggris, hingga musik dan Taekwondo.

Penekanan pada pendidikan dan prestasi sejak usia dini di Korea Selatan menjadi faktor utama terjadinya penurunan tingkat kelahiran yang signifikan.

Praktik ini begitu umum sehingga para orang tua yang memilih untuk tidak mengirim anak-anak mereka ke tempat les sering dianggap sebagai langkah yang akan mengarahkan anak-anak mereka menuju kegagalan—sesuatu yang sulit dibayangkan di Korea yang begitu kompetitif. Hal tersebut menjadikan Korea Selatan sebagai negara termahal di dunia dalam hal membesarkan anak.

Baca juga:

Korsel, atau Korea Selatan, memperlihatkan tren menurunnya tingkat kelahiran secara signifikan. Menurut data terbaru, Korsel memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa hal ini terjadi?

Masalah besar yang dihadapi Korea Selatan adalah tingkat kelahiran yang sangat rendah. Banyak faktor yang berkontribusi pada hal ini, mulai dari tekanan sosial hingga masalah ekonomi.

  • Kenapa semakin banyak anak muda di Korea Selatan yang mengurung diri di dalam kamar mereka, bahkan enggan pergi ke toilet?
  • Tekanan dari ujian sekolah telah menyebabkan kasus bunuh diri di antara siswa Korea Selatan semakin meningkat.
READ  Apa yang Memicu Penyerbuan, Penyanderaan, dan Kekerasan di Ekuador?

Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa hanya 2% dari orang tua yang tidak membayar biaya les untuk anak-anak mereka, sedangkan 94% menyatakan bahwa biaya tersebut merupakan beban finansial yang berat.

Sebagai guru di salah satu tempat les, Stella sangat memahami beban para orang tua. Dia menyaksikan orang tua menghabiskan hingga Rp13,9 juta per anak per bulan. Banyak dari orang tua tidak mampu membayar.

Selain masalah finansial, faktor lain yang memengaruhi rendahnya tingkat kelahiran di Korea Selatan adalah tekanan kerja yang tinggi. Banyak generasi muda merasa sulit untuk menemukan keseimbangan antara bekerja dan memiliki waktu untuk keluarga.

Di Korea Selatan, tingkat kelahiran terus menurun. Seorang ibu muda bernama Lee Sun-hwa (26) berbagi ceritanya, “Tetapi tanpa les-les ini, anak-anak akan tertinggal,” katanya. “Saat saya bersama anak-anak, saya ingin punya anak, tapi saya tahu terlalu banyak.”

Bagi sebagian orang, beragam les ini merugikan, bukan cuma dari aspek biaya.

Paradoks tingkat kelahiran rendah Korea Selatan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab fenomena ini. Mulai dari tekanan pekerjaan yang tinggi hingga biaya pendidikan yang mahal, semuanya turut berperan dalam menurunkan angka kelahiran di negara tersebut.

“Minji” ingin berbagi pengalamannya, namun tidak secara publik. Ia merasa belum siap jika orang tuanya mengetahui bahwa dirinya dan suaminya tidak akan memiliki anak. “Mereka pasti akan sangat terkejut dan kecewa,” katanya dari Kota Busan.

Minji mengungkapkan bahwa masa kecilnya hingga usia 20-an tahun tidak selalu membawa kebahagiaan baginya. Dia merasa bahwa tekanan sosial untuk sukses dan bergantung pada kesuksesan karier membuat banyak orang, termasuk dirinya, enggan untuk menikah dan memiliki anak.

“Dulu, masyarakat Korea Selatan mengutamakan pendidikan,” ungkap Profesor Lee. “Sistem pendidikan yang sangat kompetitif mendorong individu untuk berfokus pada karir dan meninggalkan kehidupan pribadi.”

Tujuan mengapa dia belajar adalah untuk masuk ke universitas yang bagus, kemudian untuk ujian pegawai negeri, lalu untuk mendapatkan pekerjaan pertamanya pada usia 28 tahun.

Dia mengingat masa kecilnya dihabiskan di ruang kelas hingga larut malam belajar matematika, hal yang sangat dibencinya dan tidak bisa dikuasainya. Sang anak bermimpi untuk menjadi seorang seniman, namun takdir berkata lain.

Menanggapi situasi tersebut, seorang ahli demografi mengatakan, “Saya harus terus berusaha tanpa henti, bukan untuk meraih impian pribadi, tetapi hanya untuk menjalani kehidupan yang biasa saja. Hal ini benar-benar menguras tenaga.”

Baru sekarang, di usia 32 tahun, Minji merasa bebas dan bisa bersenang-senang. Dia suka bepergian dan sedang belajar menyelam.

Sejak kemunculan Minji di tengah-tengah teman-temannya, seringkali topik percakapan di meja makan berputar mengenai keinginan Minji untuk mengejar berbagai hobi. “Saya tidak akan lagi membiarkan usia menjadi pembatas untuk melakukan hal-hal yang saya sukai,” tutur Minji penuh semangat.

Namun pertimbangan terbesarnya adalah tidak ingin membuat anaknya menderita akibat persaingan ketat seperti yang dialami.

“Korea bukanlah tempat di mana anak-anak bisa hidup bahagia,” tutupnya.

Suaminya berkeinginan untuk memiliki seorang anak, dan hal ini selalu menjadi perdebatan di antara mereka. Meskipun awalnya sang suami ragu, namun akhirnya ia menerima keinginan istrinya. Terkadang, hatinya terasa bimbang, namun kemudian dia teringat mengapa impian untuk memiliki anak tidak pernah terwujud.

Fenomena sosial yang membuat depresi

Di Kota Daejon, Jungyeon Chun menjalani apa yang dia sebut sebagai “pernikahan orang tua tunggal”.

Chun, seorang ibu tunggal berusia 38 tahun, pindah ke kota setelah bercerai dari suaminya. Ia kini mengurus dua anaknya sendirian, tanpa adanya bantuan dari keluarga atau teman.

Setelah menjemput putrinya yang berusia tujuh tahun dan putranya yang berusia empat tahun dari sekolah, dia jalan-jalan ke taman bermain terdekat, menghabiskan waktu berjam-jam hingga suaminya kembali dari kerja. Suaminya jarang sampai di rumah sebelum jam tidur.

Keadaan itu menjadikan waktu bersama anak-anak sangat berharga baginya. Walau terkadang lelah, namun senyum dan tawa anak-anaknya mampu mengembalikan segarnya semangatnya.

“Saya tidak merasa membuat keputusan besar untuk memiliki anak. Saya pikir saya akan dapat kembali bekerja dengan cepat,” katanya.

Sebagian besar keluarga di Korea Selatan sekarang memiliki satu anak saja, dan jumlah kelahiran terus menurun. Banyak orang mengaitkan fenomena ini dengan tekanan kerja yang tinggi dan biaya hidup yang mahal di negara tersebut. Selain itu, perempuan Korea Selatan sering kali mengalami diskriminasi di tempat kerja ketika mereka ingin memiliki anak.

Namun tidak berselang lama, tekanan sosial dan finansial mulai muncul. Hal yang mengejutkan adalah saat dia harus mengasuh anak seorang diri. Suaminya, yang merupakan anggota serikat pekerja, tidak membantu dalam mengurus anak atau pekerjaan rumah.

“Saya merasa sangat marah,” katanya. “Saya telah dididik dengan baik dan diajarkan bahwa perempuan itu setara dengan pria, jadi saya tidak bisa menerima ini.”

Sebelumnya, Korea Selatan sudah lama dikenal dengan tingkat kelahiran yang rendah. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, mulai dari beban finansial yang tinggi hingga tuntutan karier yang berat.

Jungyeon dan anak-anaknya

Korea Selatan (Korsel) saat ini mengalami tantangan serius terkait tingkat kelahiran yang semakin rendah. Berbagai faktor telah menyebabkan penurunan tajam dalam angka kelahiran di negara ini.

Jungyeon merasa sedih karena banyak perempuan tidak mendapat kesempatan untuk menjadi ibu, disebabkan oleh “situasi tragis yang terpaksa mereka alami” seperti yang diungkapkan oleh Jean Chung.

Hal yang menjadi perhatian utama adalah tingkat kelahiran rendah yang terjadi di Korea Selatan.

Faktanya, Korea Selatan mengalami penurunan drastis dalam tingkat kelahiran selama beberapa tahun terakhir.

Hal ini menjadi keprihatinan karena dapat berdampak pada struktur demografi negara tersebut di masa mendatang.

Selama 50 tahun terakhir, perekonomian Korea telah berkembang dengan sangat cepat, mendorong perempuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, memasuki dunia kerja, serta memperluas ambisi mereka. Namun peran istri dan ibu belum berkembang dengan kecepatan yang hampir sama.

Saat perempuan mulai bekerja, tanggung jawab rumah tangga dan merawat anak tetap menjadi beban utama mereka. Hal ini menyebabkan banyak perempuan Korea Selatan memilih untuk fokus pada karier dan menunda atau bahkan menghindari perkawinan serta memiliki anak.

Didorong oleh rasa frustrasi, Jungyeon mulai memperhatikan ibu-ibu lain. “Saya berpikir, ‘Oh, teman saya yang sedang merawat anak juga mengalami depresi dan teman saya di seberang jalan juga sedang mengalami depresi’. Saya kemudian menyadari bahwa ini adalah fenomena sosial,” ujarnya.

Jungyeon di tempat bermain

Korsel, sebuah negara maju yang dikenal dengan kekayaan teknologinya, ternyata menghadapi isu menarik terkait tingkat kelahiran yang rendah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa tingkat kelahiran di Korsel bisa menjadi yang terendah di dunia?

READ  Awal Sempurna: GP San Marino Bagnaia

Penurunan angka kelahiran di Korea Selatan telah menjadi perhatian serius dalam beberapa dekade terakhir. Faktor apa yang menyebabkan negara ini mengalami penurunan drastis dalam tingkat kelahiran?

Jungyeon Chun, seorang wanita berusia 39 tahun di Korea Selatan, menjalani apa yang dia sebut sebagai “pernikahan orang tua tunggal.” Ia belum menikah dan memiliki anak, hal yang dianggap tidak biasa di tengah tekanan sosial Korea Selatan yang menekankan pentingnya pernikahan dan keluarga.

Saat dia mulai menuangkan pengalamannya dalam bentuk gambar dan membagikannya secara online, dia merasakan aliran cerita itu begitu lancar keluar dari dirinya. “Cerita-cerita itu seolah-olah hidup dan mengalir dengan sendirinya,” katanya dengan penuh semangat.

Webtoon-nya sangat sukses, karena banyak perempuan Korea Selatan yang tertarik dengan karyanya. Saat ini, Jungyeon telah menjadi penulis tiga buku komik.

Di masa sekarang, ia mengakui telah melalui fase kemarahan dan penyesalan. “Saya berharap saya tahu lebih banyak tentang realitas membesarkan anak, dan seberapa banyak hal yang diharapkan dilakukan oleh seorang ibu,” ungkapnya.

Menurut seorang peneliti, “Alasan perempuan saat ini tidak memiliki anak adalah karena mereka memiliki keberanian untuk membicarakannya.”

Tapi Jungyeon merasa sedih karena banyak perempuan di Korea Selatan tidak mendapat kesempatan untuk menjadi ibu, disebabkan oleh “situasi tragis yang terpaksa mereka alami”.

Di sisi lain, Minji bersyukur atas hak pilihnya, “Kami generasi pertama yang bisa memilih. Sebelum itu, harus punya anak. Jadi kami memilih tak melakukannya karena bisa,” katanya tegas.

Saya bakal punya 10 anak jika bisa

Kembali ke apartemen Yejin.

Setelah makan siang, teman-temannya menawar buku-buku dan barang-barang miliknya.

Terinspirasi oleh keinginan untuk mencari pengalaman baru, Yejin memutuskan untuk meninggalkan Korsel dan menjelajahi Selandia Baru. Suatu pagi, dia terbangun dengan pemahaman yang dalam bahwa keputusannya untuk pergi tidak ditentukan oleh desakan dari siapapun di sekitarnya.

Dia meneliti negara mana saja yang memiliki peringkat tinggi dalam hal kesetaraan gender, dan Selandia Baru jelas menjadi pemenangnya. “Ini adalah tempat di mana laki-laki dan perempuan dibayar dengan upah yang setara,” katanya, hampir tidak percaya, “Jadi saya berangkat.”

Setelah berabad-abad berjuang untuk persamaan gender, kini Selandia Baru menjadi inspirasi bagi banyak negara, termasuk Korea Selatan. Perbedaan upah gender di Korea Selatan yang signifikan menjadi pertimbangan penting untuk mencermati mengapa Korsel mengalami tingkat kelahiran terendah di dunia.

Saya bertanya kepada Yejin dan teman-temannya, apa yang dapat meyakinkan mereka untuk mengubah pikiran.

Jawaban Minsung mengejutkan saya. “Saya ingin sekali punya anak. Saya ingin punya 10 anak jika saya bisa.”

Memasuki tahun 2021, Korea Selatan telah menjadi negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, mengapa hal ini terjadi?

Saya pun mencoba mendalami penyebab di balik tren penurunan kelahiran ini. Seorang perempuan berusia 27 tahun berbagi ceritanya pada saya, menyatakan bahwa dirinya adalah seorang wanita biseksual dan memiliki pasangan sesama jenis.

Minsung (kanan) berdiri di sebelah Yeijin

Korea Selatan (Korsel) diketahui mengalami penurunan tingkat kelahiran yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Negara ini bahkan mencatatkan diri sebagai negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia. Faktor apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi?

Minsung memiliki keinginan untuk memiliki anak meskipun ia memiliki pasangan sesama jenis. Namun, ia dihadapkan pada hambatan karena tidak diizinkan menggunakan donor sperma untuk hamil.

Perkawinan sesama jenis telah dianggap ilegal di Korea Selatan. Akibatnya, wanita yang belum menikah biasanya tidak diizinkan untuk menggunakan sperman donor untuk kehamilan.

Menyusul tren penurunan kelahiran di Korea Selatan, banyak orang mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap situasi tersebut. Seorang warga Korea Selatan berkata, “Mudah-mudahan suatu hari nanti hal ini akan berubah, dan saya bisa menikah dan memiliki anak dengan orang yang saya cintai.”

Dalam sebuah ironi yang mencengangkan, di tengah situasi demografi Korea yang genting, beberapa wanita yang berkeinginan menjadi ibu malah menghadapi larangan.

Namun sepertinya para politisi mulai melihat dengan lebih jelas akan kedalaman dan kompleksitas krisis ini.

Bulan ini, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengakui bahwa upaya untuk mengatasi masalah ini “tidak berhasil”, dan bahwa persaingan di Korea Selatan “terlalu berlebihan dan tidak perlu”.

Dia menyatakan bahwa pemerintah Korea Selatan sedang menjadikan rendahnya angka kelahiran sebagai “masalah struktural” – namun, bagaimana hal ini akan diimplementasikan ke dalam kebijakan masih perlu dipertimbangkan.

Simak juga:

Saat ini, Korea Selatan mengalami tantangan serius terkait tingkat kelahiran yang terus menurun. Hal ini membuat negara tersebut mencari berbagai solusi untuk mendorong warganya agar mau memiliki anak dan merawat lansia dengan baik.

Beberapa langkah telah dilakukan oleh Korea Selatan dan negara lain untuk mengatasi masalah ini. Berikut adalah lima hal yang dilakukan:

  • Program dukungan finansial bagi keluarga yang memiliki anak, termasuk cuti hamil dan cuti orang tua yang lebih panjang.
  • Penyediaan layanan perawatan anak yang terjangkau dan berkualitas.
  • Pendidikan seks yang lebih terbuka dan edukasi mengenai pentingnya memiliki keturunan.
  • Penyediaan fasilitas perumahan yang ramah keluarga.
  • Promosi nilai-nilai tradisional seperti pentingnya keluarga dan solidaritas antargenerasi.

Pengalaman Yejin dari Selandia Baru juga memberikan wawasan berharga terkait perbandingan kebijakan kelahiran di berbagai negara. Semoga langkah-langkah ini dapat memperbaiki tingkat kelahiran di Korea Selatan dan membantu menjaga keberlangsungan populasi di masa depan.

Dia sedang sibuk mengobrol soal kehidupan barunya, teman-temannya, dan pekerjaannya di dapur sebuah pub. “Keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan saya jauh lebih baik,” ujarnya. Dia bisa menyusun rencana untuk bertemu dengan teman-temannya di hari kerja.

“Saya merasa jauh lebih dihormati di tempat kerja dan orang-orang tidak terlalu menghakimi,” tambahnya.

Menurut survei terbaru, Korea Selatan mencatat tingkat kelahiran terendah di dunia. Fenomena ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan dan membuat banyak pihak prihatin. Faktor apa yang menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran di negara ini?

Dalam sebuah wawancara, seorang warga Korea Selatan mengungkapkan perasaannya, “Itu membuat saya tidak ingin pulang.” Ungkapan ini mencerminkan kekhawatiran dan perasaan sulit bagi masyarakat Korea Selatan terkait tingkat kelahiran yang terus menurun.

Reportase tambahan oleh Leehyun Choi dan Hosu Lee

Penurunan drastis dalam tingkat kelahiran di Korea Selatan telah menarik perhatian banyak pihak. Menurut data terbaru, Korea Selatan saat ini mengalami salah satu tingkat kelahiran terendah di seluruh dunia. Hal ini memiliki dampak yang luas terutama dalam hal struktur populasi dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Korea Selatan menghadapi masalah serius terkait tingkat kelahiran yang terus menurun hingga mencapai level terendah di dunia. Faktor apa yang menyebabkan hal ini terjadi?