indotim.net (Rabu, 06 Maret 2024) – Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, mengungkap bahwa industri tekstil dalam negeri mengalami lesu akibat maraknya produk impor murah yang masuk ke Tanah Air.
“Salah satu faktor utama adalah karena banjirnya barang impor murah yang terus masuk ke Indonesia akibat kondisi global yang belum stabil,” ungkap seorang pengusaha tekstil saat diwawancarai pada hari Selasa (5/3/2024).
Sebagai informasi, data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dirilis Kementerian Perindustrian bulan Februari menunjukkan sektor tekstil masih terkontraksi. Sektor ini gagal terdongkrak meskipun ada kontestasi politik.
Dampak kondisi global yang sedang tidak baik membuat China, produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar di dunia, mulai membidik negara-negara dengan trade barrier atau penghalang perdagangan yang lemah.
“Alasan utama produsen tekstil terbesar di dunia seperti China sedang mencari pasar dengan hambatan perdagangan yang lebih rendah,” jelasnya.
Dari dalam negeri, dia mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Selain itu, utilisasi atau pemanfaatan fasilitas industri di sektor ini juga masih terbilang rendah.
“Selain menurunnya daya beli masyarakat Indonesia yang belum pulih, juga tingginya tingkat underutilization industri tekstil sehingga belum terjadi pemanggilan karyawan untuk kembali bekerja,” ungkapnya.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengungkapkan bahwa industri tekstil adalah salah satu sektor yang mengalami kontraksi. Meskipun terjadi kontestasi dalam pemilu, industri tekstil nampaknya belum mampu mengalami peningkatan yang signifikan.
Menurut pengusaha tekstil senior, Andi, penurunan performa industri tekstil tidak hanya dipengaruhi oleh situasi politik, namun juga oleh faktor-faktor internal perusahaan. Kompleksitas regulasi, kualitas bahan baku, dan kurangnya inovasi dalam desain produk juga turut berperan.
Masalah lesunya industri tekstil di bulan Februari disebabkan oleh kurang efisienya proses produksi. Seharusnya, saat pemilu berlangsung pada bulan Februari, produksi seharusnya sudah berjalan di bulan Desember. Namun, banyak perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang habis stoknya di bulan Februari, sehingga produksi pada bulan tersebut turun drastis,” ungkap seorang pengusaha dalam konferensi pers yang diadakan oleh IKI di Gedung Kemenperin, Jakarta Selatan, pada Kamis (29/2/2024).
Di sisi sebaliknya, permintaan dari pasar luar negeri juga mengalami penurunan yang signifikan. Febri mencurigai faktor ini turut berperan dalam menekan kinerja IKI sebagai subsektor tekstil yang terkontraksi hingga di bawah angka 50 poin.
“Tapi kami juga melihat di sisi lain pasar global dan di beberapa negara untuk industri produk tekstil pesanannya semakin menurun. Itu yang menurut kami penyebab kenapa industri tekstil masih melemah atau di bawah 50, atau masih kontraksi,” terang Febri.
Kesimpulan
Meskipun terjadi kontraksi dalam sektor tekstil di Indonesia, faktor utama yang menyebabkan industri tersebut terpuruk adalah maraknya produk impor murah yang memasuki pasar dalam negeri akibat kondisi global yang belum stabil. Selain itu, daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya dan underutilization fasilitas industri juga menjadi faktor penurunannya. Tidak hanya faktor eksternal seperti situasi politik, namun faktor internal perusahaan seperti regulasi, kualitas bahan baku, dan kurangnya inovasi dalam desain produk juga ikut berperan. Menurunnya efisiensi proses produksi dalam bulan Februari juga turut berkontribusi dalam lesunya industri tekstil. Permintaan dari pasar luar negeri yang juga mengalami penurunan signifikan menjadi salah satu penyebab kinerja industri tekstil yang terkontraksi.