Membahas Jejak Kehormatan: STOVIA, Sekolah Kedokteran di Zaman Kolonial

indotim.net (Sabtu, 09 Maret 2024) – Di Jakarta, terdapat banyak museum menarik, salah satunya adalah Museum Kebangkitan Nasional yang berlokasi di Senen, Jakarta Pusat. Awalnya, bangunan ini bukanlah museum, melainkan merupakan sebuah sekolah kedokteran yang bersejarah.

Pada masa Hindia Belanda, bangunan ini merupakan institusi pendidikan kedokteran yang dikenal dengan nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yang artinya Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera dalam bahasa Indonesia.

Sekolah STOVIA berada di kota Batavia, yang kini telah berganti nama menjadi DKI Jakarta. Walau bangunannya telah beralih menjadi museum, namun detikers masih bisa melihat peninggalan sejarah STOVIA.

Ingin mengetahui lebih lanjut tentang STOVIA? Jangan lewatkan pembahasannya dalam artikel ini.

Mengenal Sejarah STOVIA

Berkembangnya STOVIA sebagai sekolah kedokteran dimulai dari situasi kesehatan masyarakat di Batavia yang semakin memburuk akibat meningkatnya kasus malaria. Dokter-dokter pada masa itu tidak mampu menangani seluruh pasien karena jumlah dokter yang terbatas.

Situasi tersebut mendorong perlunya pendidikan medis yang lebih terstruktur untuk menghasilkan lebih banyak dokter yang berkualitas dalam penanganan penyakit di Hindia Belanda saat itu. STOVIA pun didirikan sebagai jawaban atas tantangan kesehatan yang semakin mendesak.

Mengutip e-jurnal milik ui.ac.id, adanya wabah malaria membuat Dr Willem Bosch mengusulkan untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa menjadi tenaga kesehatan. Berdasarkan keputusan pemerintah Belanda pada 1849, dibangunlah sekolah kedokteran di Hindia Belanda dengan nama Sekolah Dokter Djawa.

Gedung sekolah STOVIA di zaman Hindia Belanda. Foto: Wikimedia Commons

Sekolah tersebut resmi dibuka pada tahun 1851. Berlokasi di Weltevreden, Sekolah Dokter Djawa berperan dalam mendukung rumah sakit militer di Batavia. Lulusan dari sekolah tersebut kemudian ditempatkan sebagai ‘mantri cacar’ atau asisten dokter.

READ  Masinton Sebut Migrasi Relawan Anies dan Ganjar ke Prabowo Kabitaan dan Dinamis

Sebab, masyarakat di Batavia tak hanya terpapar malaria, namun juga terserang penyakit cacar. Jumlah pasiennya yang membludak membuat pemerintah Hindia Belanda harus putar otak untuk mengatasi penyakit tersebut.

Singkat cerita, pada tahun 1902, Sekolah Dokter Djawa berkembang dan berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera.

STOVIA terus berkembang sejak awal berdirinya. Pada tahun 1913, nama sekolah ini diubah menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen, sehingga lulusan dari institusi ini kemudian dikenal sebagai Indisch Arts. Perubahan tersebut tidak hanya berdampak pada penamaan, tetapi juga meningkatkan kualitas lulusan yang lebih baik dari sebelumnya.

Pendidikan di STOVIA

Pada tahun 1902, program studi kedokteran di STOVIA berlangsung selama tujuh tahun. Awalnya, STOVIA hanya menerima lulusan dari Europeesche Lagere School atau sekolah yang setara.

STOVIA memiliki dua jurusan, yaitu jurusan persiapan dengan masa studi tiga tahun dan jurusan kedokteran dengan masa studi lima tahun yang kemudian berkembang menjadi tujuh tahun.

Suasana kelas saat para murid menempuh pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA. Foto: Wikimedia Commons

Pada permulaan berdirinya, STOVIA hanya membuka pintu bagi siswa dari kalangan priyayi Jawa. Namun, seiring berjalan waktu, STOVIA mulai menerima pendaftaran siswa baru dari sekolah-sekolah di Eropa dan Cina.

Pelajar STOVIA diwajibkan tinggal di asrama yang menerapkan disiplin ketat. Seluruh jadwal kegiatan pelajar telah diatur mulai dari pagi hingga malam. Di samping itu, terdapat pengawas yang selalu mengawasi aktivitas siswa yang dikenal sebagai “suppoost”.

Kurikulum yang digunakan selama pendidikan kedokteran di STOVIA juga disesuaikan dengan sekolah di Belanda. Hal ini dilakukan agar kualitas lulusan STOVIA dapat sebanding dengan dokter lulusan di Belanda.

Sekolah Kedokteran Pengganti STOVIA

Jumlah pendaftar di STOVIA terus meningkat setiap tahun. Namun, karena keterbatasan ruang kelas, pada tahun 1917, hanya 25 murid yang diterima.

READ  Pengacara Ungkap Motif Keji 4 Senior Melakukan Kekerasan terhadap Santri di Kediri

Mengutip jurnal Berkala Ilmu Kedokteran oleh Radiopoetro, sejak tahun 1919 sekolah kedokteran mulai dipindahkan ke gedung baru di Salemba, yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sementara itu, para pelajar melakukan praktik kedokteran di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting atau disebut Rumah Sakit Pusat. Sekarang, gedung tersebut berfungsi menjadi Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Suasana salah satu ruang kelas di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA. Foto: Wikimedia Commons

Sejak 1927, STOVIA secara resmi tidak menerima siswa baru. Sekolah tersebut hanya melanjutkan pendidikan bagi para siswanya yang masih menempuh studi.

Para pelajar yang masih duduk di tingkat rendah kemudian diberi kesempatan untuk pindah ke AMS (Algemeen Midelbaar School) atau NIAS (Nederlands Indische Artsen School) di Surabaya.

Proses seleksi sangat ketat dan hanya sedikit yang bisa lolos masuk STOVIA. Para siswa mendapatkan pendidikan medis yang komprehensif dan berkualitas di sekolah ini.

Pada masa itu, para pelajar yang berkeinginan menjadi dokter harus menempuh pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang berada di Batavia, Hindia Belanda.

Sedangkan pelajar di tingkat tinggi dapat melanjutkan studi ke GHS (Geneeskundige Hoogeschool) yang terletak di kota yang sama. GHS sendiri kemudian menjadi pengganti dari STOVIA sebagai sekolah kedokteran tinggi.

Gedung STOVIA di Masa Kini

Ketika Jepang menduduki Tanah Air pada tahun 1942, bangunan yang dulunya digunakan sebagai gedung sekolah STOVIA berubah fungsi menjadi kamp tahanan bagi mantan tentara Belanda dari tahun 1942 hingga 1945.

Setelah Indonesia merdeka, gedung STOVIA kemudian digunakan oleh eks tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) Batalyon V mulai tahun 1945 hingga 1973.

Mengutip laman Kemdikbud, Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sempat melakukan pemugaran terhadap gedung STOVIA pada 1973 karena dinilai memiliki sejarah penting. Pada 27 September 1982, pengelolaan gedung STOVIA kemudian diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

READ  Massa di Washington Gelar Aksi Tuntut Gencatan Senjata di Gaza

Baru pada 20 Mei 1974, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, bangunan tersebut diresmikan menjadi Gedung Kebangkitan Nasional Oleh Presiden RI Kedua, Soeharto.

Awalnya, bangunan tersebut terbagi menjadi empat bagian yang beroperasi sebagai museum, termasuk Museum Budi Utomo, Museum Kesehatan, Museum Wanita, dan Museum Pers.

Lalu pada 7 Februari 1984, bangunan tersebut resmi diubah menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Karena memiliki nilai sejarah penting, museum itu ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi.

Bagi yang ingin mengunjungi, Museum Kebangkitan Nasional berlokasi di Jalan Abdul Rachman Saleh Nomor 26, Senen, Jakarta Pusat.

Demikianlah perjalanan singkat mengenai STOVIA, sekolah kedokteran yang memiliki sejarah panjang dan prestisius di masa Hindia Belanda. Semoga penjelasan ini memberikan wawasan yang berharga bagi pembaca.