indotim.net (Senin, 15 Januari 2024) – Sebagai kebutuhan dasar, kesehatan membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Tanpa ketersediaan SDM, tujuan pembangunan kesehatan sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan karena SDM kesehatan merupakan kunci menggerakkan pembangunan kesehatan di Tanah Air. SDM kesehatan dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang.
Di daerah terpencil yang dikenal dengan sebutan Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK), masalah yang dihadapi lebih mengkhawatirkan. Daerah-daerah kabupaten yang termasuk dalam kategori tertinggal memiliki perkembangan wilayah dan masyarakat yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lainnya. Sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia (SDM) di sana belum memadai. Profil kesehatan masyarakat di daerah DTPK jauh lebih rendah, dan upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal masih memerlukan perjuangan yang panjang.
Masyarakat di wilayah DTPK menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan primer yang berkualitas. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografi, topografi, transportasi, akses komunikasi yang terbatas, tingkat kemiskinan yang tinggi, serta berbagai masalah sosial lainnya. Dengan demikian, diperlukan insentif yang dapat mendorong pembangunan kesehatan di daerah-daerah terpencil.
Saat ini, fasilitas pelayanan kesehatan di DTPK belum dapat memberikan pelayanan yang optimal. Masalah ini terjadi karena kurang meratanya tenaga medis di seluruh daerah yang dapat menjadi penyeimbang dan fasilitator dalam memberikan pelayanan kesehatan. Di wilayah DTPK, ketersediaan tenaga medis belum memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Layanan primer dalam bidang kesehatan merupakan fondasi penting untuk memastikan kualitas pelayanan kesehatan yang merata di seluruh wilayah. Upaya pemerataan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di layanan primer menjadi fokus utama dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Ketersediaan SDM kesehatan dalam layanan primer merupakan faktor penting dalam mencapai keberhasilan pembangunan kesehatan. Mereka yang aktif mengimplementasikan upaya promotif dan preventif secara langsung di masyarakat. Mereka juga berperan dalam memberdayakan masyarakat melalui fasilitasi yang diberikan. Selain itu, mereka menjadi pemimpin dalam pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan senantiasa melakukan inovasi dalam pelayanan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan telah melaksanakan program penempatan SDM kesehatan yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan DTPK, yang dikenal dengan nama Nusantara Sehat. Melalui program ini, Kemenkes bertujuan untuk memberikan pelayanan primer yang terjangkau dan berkualitas dalam bentuk yang terintegrasi, terpadu, dan berkesinambungan. Nusantara Sehat melibatkan penugasan tim SDM kesehatan khusus yang dikirim ke daerah terpencil.
Belum meratanya Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan di layanan primer sudah menjadi rahasia umum. Layanan primer merupakan pelayanan kesehatan dasar tempat penduduk pertama kali bersentuhan dengan pelayanan kesehatan. Ujung tombak layanan primer adalah puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa masalah Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan di Indonesia terkait dengan ketersediaan, pemerataan, dan kompetensi yang belum memenuhi standar. Secara umum, SDM di puskesmas di Indonesia, khususnya di wilayah Timur Indonesia, masih belum mencukupi. Namun, masalah ketersediaan SDM juga terjadi di beberapa wilayah di bagian Barat dan Tengah Indonesia. Keterbatasan jumlah tenaga medis menjadi alasan utama mengapa layanan primer belum mencapai kinerja dan mutu sesuai target yang ditetapkan.
Puskesmas sebagai layanan primer yang terdepan dalam pelayanan kesehatan, memiliki persyaratan ketenagaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 43 tahun 2019 tentang Puskesmas. Ketentuan ketenagaan tersebut mencakup dokter atau dokter layanan primer, serta dokter gigi. Selain itu, tenaga kesehatan lainnya yang minimal harus tersedia di Puskesmas meliputi perawat, bidan, tenaga promosi kesehatan, tenaga sanitasi lingkungan, nutrisionis, apoteker, tenaga teknis kefarmasian, dan ahli teknologi laboratorium medik.
Puskesmas dapat menambah tenaga kesehatan lain sesuai kebutuhan seperti terapis gigi, epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, perekam medis, dan tenaga informasi kesehatan. Tenaga non kesehatan lain yang diperlukan dan dibutuhkan puskesmas adalah keuangan, bendahara, sopir, tenaga kebersihan, tenaga IT, dan penjaga keamanan.
Masalah timbul ketika kebutuhan SDM puskesmas berdasarkan Analis Beban Kerja (ABK) sebagai kebutuhan pelayanan tidak dapat terpenuhi karena kurangnya regulasi, keterbatasan keuangan, dan kebijakan yang membuat puskesmas menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan SDM kesehatan.
Puskesmas juga memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam memberdayakan masyarakat melalui pelayanan jaringan dan jejaring di kecamatan. Diperlukan jenis tenaga, jumlah, kompetensi, dan pengalaman untuk memenuhi kebutuhan SDM dalam bidang kesehatan. Penting bagi puskesmas dan layanan dasar lainnya untuk memiliki tenaga yang memenuhi standar dalam pelayanan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, karena hal ini menjadi fokus utama dalam pusat kesehatan masyarakat.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah SDM kesehatan yang tersedia di seluruh fasilitas kesehatan adalah sebanyak 1.971.735 orang. Angka ini terdiri dari 623.967 tenaga kesehatan laki-laki dan 1.347.733 tenaga kesehatan perempuan per Desember 2021. Meskipun demikian, jumlah SDM kesehatan yang aktual ini belum mampu memenuhi kebutuhan di semua fasilitas kesehatan yang ada.
Hanya 48,86% pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang memiliki 9 jenis tenaga kesehatan sesuai standar yang ditetapkan. Selain itu, masih terdapat 4,98% puskesmas yang tidak memiliki jumlah dokter yang cukup.
Upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat membutuhkan SDM kesehatan yang memadai di puskesmas. Namun, terdapat fakta bahwa 24% puskesmas tidak memiliki tenaga kesehatan masyarakat, sedangkan angka ini meningkat menjadi 30,2% jika melihat kekurangan dalam sanitasi lingkungan. Tidak hanya itu, jumlah tenaga rekam medis dan tenaga IT kesehatan juga masih terbatas. Pengalihan tugas atau yang dikenal dengan task shifting juga sering terjadi, sehingga puskesmas kehilangan SDM dengan kualifikasi tinggi. Fenomena multitasking atau penugasan ganda SDM kesehatan untuk melaksanakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan kompetensinya juga sering terjadi di berbagai tempat.
Multltasking terjadi karena sumber daya manusia (SDM) yang bertugas di layanan primer puskesmas dengan ketersediaan yang kurang memadai. Beberapa kegiatan di bidang manajemen, seperti administrasi, kepegawaian, bendahara, pengawas sarana prasarana, serta sistem informasi puskesmas, seringkali dilakukan oleh tenaga profesi kesehatan. Dalam praktiknya, SDM yang melakukan multitasking di luar kompetensinya ini mendapatkan pelatihan di bidang manajemen. Namun, hal ini justru membuat beban kerja mereka menjadi terlalu berat (overload).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui adanya disparitas SDM kesehatan dalam pelayanan primer dan sering mengaku tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi masalah ini. Sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam pemberdayaan SDM kesehatan, Kementerian Kesehatan tidak memiliki wewenang dan regulasi yang memadai untuk mengaturnya. Saat ini, rasio dokter umum di Indonesia hanya sebanyak 0,42 per 1000 penduduk, sementara standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah satu dokter per 1000 penduduk. Selain itu, data menunjukkan bahwa sebanyak 41% Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kabupaten/kota masih kekurangan dokter spesialis.
Saat ini, dengan adanya regulasi baru yang ditetapkan melalui Undang-Undang No 17 Tahun 2023, pemerintah tengah berupaya untuk mengendalikan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kesehatan. Dalam kondisi seperti ini, pelayanan primer melalui puskesmas tetap berjalan dan sangat diperlukan. Jika pemerintah daerah (pemda) dan dinas kesehatan memberikan perhatian yang cukup terhadap kebutuhan SDM kesehatan, maka standar SDM dapat terpenuhi dengan melakukan pengalihan tugas (task shifting) dan multi-tugas (multitasking). Namun, jika pemda, bagian kepegawaian, dan dinas kesehatan tidak fokus pada kebutuhan SDM kesehatan, maka hal ini akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan primer.
Komitmen Kuat
Transformasi tentang sumber daya manusia (SDM) kesehatan sedang berlangsung di negara kita sejalan dengan kebijakan transformasi kesehatan setelah pandemi Covid. Transformasi ini akan difokuskan pada upaya memastikan distribusi tenaga kesehatan merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah terdepan, terluar, dan terpencil (DTPK). Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan meningkatkan kuota mahasiswa, menyediakan beasiswa dalam dan luar negeri, serta mempermudah partisipasi tenaga kesehatan lulusan perguruan tinggi luar negeri.
Kebutuhan SDM kesehatan di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Selain itu, terdapat juga Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SISDMK) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. SISDMK ini merupakan suatu sistem informasi yang menyeluruh dan terkoordinasi di tingkat pusat maupun daerah untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan SDM kesehatan.
Manfaat dari SISDMK adalah memfasilitasi penempatan tenaga kesehatan yang tepat, baik dari segi kualifikasi maupun keterampilan, di tempat dan waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Dengan adanya sistem ini, diharapkan SDM kesehatan dapat ditempatkan secara efektif dan efisien dalam layanan primer, sehingga mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Namun, sayangnya Sistem Informasi SDM Kesehatan (SISDMK) belum dapat mengontrol secara menyeluruh ketersediaan dan distribusi SDM kesehatan karena adanya peraturan dan kepentingan yang berbeda di setiap daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai pemilik fasilitas kesehatan (fasyankes) dan SDM kesehatan harus menghitung dengan cermat kebutuhan yang sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan.
Untuk menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin meningkat terhadap pelayanan kesehatan, Analisis Beban Kerja (ABK) dilakukan. Komitmen Pemda kabupaten/kota dalam mengendalikan SDM kesehatan harus kuat dan tidak boleh melanggar kebijakan yang telah ditetapkan.
Tantangan dan isu pengendalian SDM kesehatan saat ini sering kali diungkap adalah mengenai ketersediaan, distribusi, kualitas, dan status kepegawaian yang standar. Task shifting dan multitasking yang disebabkan oleh perencanaan yang tidak konsisten membuat SDM kesehatan kita terbatas dalam memberikan pelayanan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta pemerintah daerah dalam pengendalian SDM kesehatan yang harus ditegaskan dan dimulai. Setelah itu, penghargaan kepada SDM kesehatan seperti pengaturan masa bakti, pelatihan, pengembangan karier, dan promosi dapat dilaksanakan.
Noerolalandra Dwi S. Surveior FKTP Kementerian Kesehatan, merupakan alumnus Magister Manajemen Pelayanan Kesehatan Unair.