indotim.net (Senin, 22 Januari 2024) – Dalam Pilpres 2024, terdapat pendukung calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang berasal dari kalangan tokoh agama, termasuk kiai. Secara umum, kehadiran mereka bertujuan untuk memperkuat moralitas karena agamawan dianggap sebagai penjaga moral dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa agamawan, seperti kiai, memiliki peran sentral dalam perkembangan dan perpolitikan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, peran dan fungsi agamawan sangat penting dalam konteks politik Indonesia. Tidak heran jika dalam membentuk koalisi partai untuk Pilpres 2024, kunjungan ke rumah kiai dan lembaga pesantren menjadi hal yang umum dilakukan setiap lima tahun sekali. Selain alasan keberadaan mereka yang melegitimasi secara keagamaan, secara sosial-sosiologis, kiai juga berperan sebagai katalisator untuk berbagai kepentingan politik, terutama kepentingan elektoral. Melibatkan kiai tertentu diharapkan memberikan keuntungan ganda bagi pasangan calon, yaitu keuntungan legitimasi dan keuntungan elektoral.
Dalam konteks hubungan politik dengan dunia agama, terdapat dua pandangan utama yang menjadi acuan pandangan dan perilaku masyarakat. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa kiai sebaiknya hanya berperan sebagai pembimbing umat, terutama dalam kehidupan beragama. Oleh karena itu, lebih baik jika kiai menjauh dari aktivitas politik praktis agar tidak terjebak dalam peran ganda. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi kiai untuk tidak terlibat dalam politik praktis karena berpolitik juga merupakan bagian dari kehidupan agama itu sendiri. Pandangan pertama, yang lebih dominan, lebih menekankan pada peran kiai sebagai pembimbing spiritual. Namun demikian, pandangan ini sendiri tidak lepas dari problematikanya, terutama dalam menjaga integritas moral yang menjadi misi utama kiai. Dalam prakteknya, misi moral para kiai yang terlibat dalam politik sering kali terjebak dalam pragmatisme politik yang jarang berhubungan dengan keagamaan.
Para peneliti internasional telah mengungkapkan peran kiai dalam konstruksi dan perubahan sosial-politik di Indonesia. Mereka menempatkan kiai sebagai agen perubahan sosial (Hiroko Horikosi, 1978) dan sebagai penghubung budaya (cultural brokers) (Geertz, 1960). Dalam berbagai teori mengenai posisi dan peran kiai serta hubungannya dengan masyarakat Indonesia, dapat disimpulkan bahwa fatwa dan nasehat kiai selalu dijadikan sebagai preferensi sosial-politik yang diikuti oleh umatnya. Dengan otoritas moral dan keagamaan yang dimiliki, kiai mampu mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya.
Istilah “patron-client” digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kiai dan umatnya, seperti yang diperkenalkan oleh sosiolog Marx Weber (1968). Dalam konteks politik, kiai adalah “patron” bagi umatnya (“client”) dalam sebuah hubungan yang bersifat paternalistik. Para kiai yang mendukung pasangan capres-cawapres memiliki pengikut mereka sendiri, yang dalam politik elektoral dihitung sebagai suara. Para kiai dan santrinya diposisikan oleh calon presiden sebagai pemilik dan pemegang suara yang akan diwujudkan dalam keputusan pemilihan di bilik suara. Sebagai langkah pragmatis dalam politik, hubungan antara calon presiden dan kiai tidak dapat menghindari transaksi politik yang cenderung pragmatis, seperti “siapa mendapatkan apa dan berapa”. Transaksi semacam ini harus dianggap sebagai transaksi dunia yang dapat diukur dengan parameter kekuasaan. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dan anomali dari pandangan kesatuan agama (kiai) dan politik. Pertanyaannya bukan benar atau salah, tetapi sejauh mana kiai memposisikan peran politiknya: apakah untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri atau hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Pilihan pertama akan menghilangkan peran penting sejarah politik kiai. Pilihan kedua akan mempertahankan praktek kiai sejak berdirinya bangsa ini: menjaga empat pilar bangsa — NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Pancasila.
Fenomena pembagian uang oleh salah satu kiai pendukung paslon tertentu di tahun politik telah memunculkan keraguan mengenai peran moral kiai dalam politik. Pembagian uang yang viral tersebut tidak lagi dilihat sebagai tindakan kedermawanan, melainkan tindakan politik dalam konteks kekuasaan politik. Selain itu, dalam Pilpres 2024, para kiai dihadapkan pada ujian berat terkait isu dan fakta demoralisasi politik yang telah terjadi, terutama setelah kasus di Mahkamah Konstitusi. Para kiai yang mendukung pelanggaran etika dalam politik menghadapi kerancuan mengenai peran mereka sebagai penjaga moral. Meskipun para ahli hukum berpendapat bahwa Gibran Rakabuming Raka sah secara hukum sebagai cawapres, tetapi bagaimana dengan pendapat para penjaga moral mengenai pelanggaran etika? Bagaimana pula dengan “kewibawaan moral agama” yang melekat pada kiai itu sendiri? Dilema ini merupakan bagian tak terpisahkan dari risiko yang dihadapi oleh kiai yang terlibat dalam politik kekuasaan. Biasanya terdapat dalil-dalil yang bisa membenarkan berbagai ujian dan kekhawatiran bagi mereka yang memilih terlibat dalam politik. Abdul Mukti Ro’uf, pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam di Program Pascasarjana IAIN Pontianak