Kisah Terharu Ibu Pertiwi Saat Harga Beras Melonjak di Pulau Terluar Indonesia

indotim.net (Senin, 04 Maret 2024) – “Orang mengatakan tanah kita sebagai surga, tongkat kayu dan batu berjaya menjadi tanaman.” Lirik dari lagu klasik ciptaan Koes Plus tersebut dipercayai sebagai puja-puji terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh Ibu Pertiwi. Tidak mengherankan, Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang subur.

Memasuki era perubahan yang semakin cepat, ibarat detik demi detik berlalu, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau menyimpan kompleksitas tersendiri. Di satu sisi, masyarakat perkotaan mungkin tidak terlalu merasakan dampak langsung dari kenaikan harga beras yang terjadi di pulau terluar Indonesia.

Namun demikian, nyatanya kasih Ibu Pertiwi belum mampu sepenuhnya menjangkau sudut-sudut daerah terpencil yang terisolasi lautan. Tingginya harga bahan pokok di pulau-pulau yang terletak di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) RI masih menjadi salah satu masalah mendasar.

Setelah mengagumi keindahan alam Pulau Maratua, salah satu pulau terluar di Kalimantan Timur, para wisatawan seringkali terkejut saat mengetahui harga bahan pokok yang tinggi di sana. Salah satu komoditas yang terkena dampak langka ini adalah beras.

“Saat ini harga beras sangat tinggi, biasanya kami mendapat bantuan dari beras Bulog. Namun sekarang, harga beras di sini mencapai Rp 400.000 per karung (25 kg) atau sekitar Rp 18.000 per kilogram. Dulu harganya lebih terjangkau, sekitar Rp 15.000 hingga Rp 12.000, namun sekarang harganya naik drastis. Itu beras kelas menengah,” ungkap Berti, seorang warga di Pulau Maratua, Kalimantan Timur, seperti dilaporkan pada hari Senin (4/3/2024).

Kondisi yang mirip juga dirasakan oleh masyarakat di Pulau Bunyu, seperti yang diungkapkan Usni. Menurutnya, harga beras di Pulau Bunyu berkisar antara Rp 19.000 hingga Rp 20.000 per kilogram. Begitu pula dengan harga telur, di mana satu piring berisi 30 butir dibanderol seharga sekitar Rp 63.000 atau Rp 2.500 per butir.

“Masih murah di sini (sayur). Nah yang mahal beras Satu kilonya Rp 20.000, ada yang Rp 19.000 per kg, di toko-toko sini. Telur satu piring Rp 63.000 isi 30,” kata Usni.

READ  Bos Bulog Optimis Harga Beras Turun dan Stok Melimpah di Bulan Ramadan

Kondisi ini juga disampaikan oleh Kepala Desa Bunyu Selatan, Alios Lanta. Pulau Bunyu masih sangat bergantung pada pasokan beras dari Surabaya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, harga beras di Pulau Bunyu tergolong tinggi, berkisar antara Rp 18.000 hingga Rp 20.000.

Pembicaraan tentang perbedaan harga minyak goreng antara Malaysia dan Indonesia tampaknya menjadi perbincangan yang lumrah. Seorang sumber mengungkapkan, “Kadang-kadang macam minyak goreng dari Malaysia, yang dua liter atau yang satu liter, itu yang biasa. Lebih murah karena transportasinya tadi, selisihnya paling Rp 2.000-3.000. Kalau dari Malaysia (harga minyak) sekitar Rp 15.000-16.000. Indonesia sekitar Rp 18.000. Kadang-kadang ada yang bawa ikan ke Malaysia, pulang bawa itu.” Dia menjelaskan situasi yang terjadi di lapangan terkait perbedaan harga minyak goreng antara kedua negara.

Sebagai perbandingan, harga beras premium dan beras medium saat ini berada di tingkat Rp 15.000/kg dan Rp 13.000/kg. Namun, di pulau-pulau terluar, harga beras medium mencapai Rp 18.000-20.000 per kilogram. Dengan selisih harga mencapai Rp 5.000-7.000, terlihat ketimpangan harga beras antara daerah tersebut.

Tidak hanya harga beras yang melonjak, namun harga ikan juga terbilang tinggi di sana, terutama untuk komoditas yang diekspor ke Malaysia. Jenis ikan yang biasa diekspor antara lain tuna, rebana, dan kerapu. Harganya mencapai Rp 61.000-62.000 per kg.

Perbandingan Harga Beras RI dan Malaysia

Terletak sekitar 70 km dari Pulau Bunyu, Pulau Sebatik menjadi saksi perbedaan kondisi ekonomi antara Indonesia dan Malaysia. Meskipun letaknya berdekatan, namun masyarakat Pulau Sebatik menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah harga bahan pokok seperti beras dan minyak, yang ternyata jauh lebih terjangkau dari Malaysia.

Muliyati menjadi salah seorang warga yang kerap membeli beras Malaysia untuk kebutuhan warungnya. Ia merupakan pemilik warung makan di kawasan perbatasan, bahkan jaraknya pun hanya 5 meter dari Patok Perbatasan Indonesia-Malaysia.

READ  Gara-gara Subsidi Energi, Penyebab Inflasi 2,5% Jepang Terjadi pada Februari

Situasi pasar yang tak menentu membuatnya harus mencari alternatif beras, terlebih lagi ketika harga beras lokal terus melonjak. “Harga beras lokal sudah tidak terjangkau bagi saya sebagai pemilik warung kecil. Saya terpaksa beli beras dari Malaysia meskipun ada risiko,” ungkap Muliyati sambil mengatur stok barang di warungnya.

“Lebih mudah dari Malaysia, lebih gampang, lebih murah. Beras di Tawau 27 ringgit 60 sen, Rp 90 ribuan (per 10 kg), nggak sampai Rp 100.000. Sedangkan kalau di sini (Indonesia) harganya sekitar Rp 130.000,” ujar Muliyati.

Masyarakat perbatasan seringkali menghadapi kesulitan dalam memperoleh beras akibat melonjaknya harga. Bukan hanya itu, mereka cenderung lebih memilih produk sembako lain seperti minyak, sayur, buah-buahan, dan makanan beku dari Malaysia.

Serupa dengan yang dikatakan oleh Nila, seorang pemilik toko kelontong di Pulau Sebatik. Meskipun toko miliknya berjarak sekitar 1-2 km dari perbatasan, namun transaksi dengan menggunakan ringgit masih sering terjadi karena barang-barang sembako Malaysia lebih diminati. Karena itu, kebanyakan toko di sekitarnya juga mulai menjual produk Malaysia karena permintaannya yang tinggi.

“Semua toko hampir semua, rata-rata toko juga jualan produk Malaysia kayak minyak makan, kan ada lebih murah di sana. Di sana cuma Rp 16.000. Sedangkan barang Indonesia kurang lebih Rp 20.000. Bedanya lumayan jauh,” kata Nila.

Hal ini menimbulkan perasaan prihatin bagi penduduk setempat di Pulau Terluar Republik Indonesia. Mereka merasa bahwa kasih sayang Ibu Pertiwi tak kunjung sampai kepada mereka di tengah kenaikan harga beras yang signifikan.

Masalah yang sering terjadi di pulau-pulau terluar Indonesia ini memang sering dianggap wajar, mengingat posisinya yang jauh dan keterbatasan akses menjadi tantangan utama. Akibatnya, biaya logistik yang diperlukan untuk mengirimkan pasokan bahan pokok menjadi penyebab kenaikan harga sembako di wilayah perbatasan.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Wakil Bupati Nunukan Kalimantan Utara, Hanafiah. Akses logistik menjadi salah satu Pekerjaan Rumah (PR) yang telah lama menjadi perhatian. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka sulit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap produk Malaysia.

READ  Melacak Fluktuasi Harga Sembako Pasar Senen Menjelang Ramadan

“Sebenarnya jika bantuan dari dalam negeri atau Indonesia dapat mengatasi masalah sembako dan lainnya dengan cukup jumlah, maka orang tidak akan memiliki opsi lain. Namun jika kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi, mereka akan mencari solusi di tempat lain. Ini adalah dasar hukum ekonomi yang sederhana. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat karena kebutuhan tersebut harus segera dipenuhi. Sembako tidak bisa ditunda-tunda,” ungkap Hanafiah.

Di samping itu, akses Pulau Sebatik telah dilengkapi dengan tol laut yang sedikit banyak telah membantu mempermudah akses sehingga harga beras cenderung lebih murah ketimbang pulau-pulau terluar lainnya. Meski demikian, menurut Hanafiah, keterbatasan frekuensi hingga muatan balik ke luar pulau menjadi tantangan lainnya.

Dari sisi frekuensi masih terbatas dan juga ada keluhan dari sisi aspek ketika membawa barang ke sini dalam jumlah besar. Namun, ketika barang kembali dari tujuan, dari sini, jumlahnya sedikit. Hal ini sangat kontradiktif. Sebab, seorang transporter biasanya mengirimkan barang dalam jumlah besar ke luar. Kami akan mencari solusi untuk mengatasi masalah ini,” ungkapnya.

Kebutuhan masyarakat akan produk Malaysia hingga masuknya ringgit ke Pulau Sebatik pun akhirnya tak terhindarkan. Kondisi ini pun mendatangkan tantangan berat dalam menjaga kedaulatan di pulau yang terletak di dua negara itu.

Selain itu, ketidakstabilan harga beras juga membuat ketegangan di antara masyarakat setempat. Dampak dari situasi ini sungguh terasa, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga yang harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Makanya kembali bagaimana kita bisa dalam negeri sendiri dan bisa mampu memberi kepastian aliran-aliran sembako bisa kita penuhi. Kita jaminkan harganya murah, terjangkau, sehingga yang transaksi di dalam (daerah Pulau Sebatik) tak mungkin transaksi ringgit, pasti rupiah,” pungkasnya.