indotim.net (Minggu, 03 Maret 2024) – Invasi Israel ke Gaza, Palestina, benar-benar membuat pilu warga yang tinggal di wilayah itu. Kelaparan akibat blokade Israel membuat warga Gaza terpaksa membuat makanan dari bahan pakan hewan ternak.
Menurut laporan Anadolu Agency dan BBC pada Minggu (3/3/2024), Abu Qusay Abu Nasser (44), seorang warga Gaza, mengungkapkan penderitaan kelaparan yang dialami oleh dirinya dan keluarganya di Gaza utara akibat kekurangan pangan. Anak-anaknya terkadang menjerit-jerit saat terbangun dari tidur karena kelaparan yang mereka rasakan.
Abu Nasser mengungkapkan kesulitannya dalam mencari solusi bagi keluarganya yang kelaparan di tengah situasi perang yang belum mereda dan blokade dari Israel yang membuat bahan makanan langka di Gaza. Untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, Abu Nasser terpaksa berusaha mencari bahan makanan di pasar kecil di kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara.
Dia melewati para pedagang yang memajang sayuran mereka, beberapa di antaranya tampak berjamur, dan mengamati ke kiri kanan berharap menemukan apapun yang dapat membantunya memberi makan anak-anaknya yang kelaparan. Nasser akhirnya cuma mendapat jagung kering dan selai yang dianggap sebagai pakan ternak di Gaza.
Abu Nasser berharap dapat menyiapkan roti dari bahan-bahan tersebut setelah persediaan gandum habis di bagian utara wilayah Gaza yang hancur akibat perang.
Salah satu pedagang meletakkan sekantong kentang yang menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Abu Nasser dan orang-orang yang lewat pun bergegas menghampirinya, berharap bisa membeli sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.
“Sejak pagi, saya keluar mencari makanan, jagung, dan selai untuk memberi makan anak-anak saya yang sangat kelaparan,” ujar Abu Nasser.
Sejak kemarin, saya baru makan satu kurma, dan anak-anak menangis kelaparan. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya pergi ke pasar Jabalia, namun saya hanya menemukan jagung kering yang dimaksudkan sebagai pakan ternak untuk membuat roti,” sambungnya.
Keputusasaan menyelimuti banyak warga Gaza akibat krisis kemanusiaan yang terus berlanjut. Kelangkaan pangan dan kebutuhan pokok semakin memperparah kondisi yang sudah sulit.
Abu Nasser menegaskan bahwa jeda pertempuran selama seminggu tidak membawa perubahan apa pun bagi warga di Gaza utara. Bantuan yang diterima tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah utara Gaza.
Abu Nasser bercerita bahwa dirinya terpaksa makan Khubbayza, jenis tanaman hijau liar, sebagai sumber makanan. Namun, kini tanaman tersebut sulit ditemukan karena persaingan yang ketat dalam mencari pangan.
“Apakah pendudukan Israel menghukum kami dengan tidak menyediakan makanan dan minuman? Apakah karena kami belum semua mengungsi ke Jalur Gaza bagian selatan?” ujarnya. Dia berharap negara-negara Arab dan muslim segera mengirim bantuan bagi warga Gaza.
Seorang wanita Palestina yang mengungsi di salah satu sekolah di Jabalia, Rawiya Rizq, mengatakan tidak ada makanan yang tersedia. Dia melaporkan bahwa warga di sana benar-benar hidup dalam kelaparan yang mencekam.
“Tidak ada makanan, dan kami hidup dalam kelaparan. Kami mengonsumsi pakan ternak yang jumlahnya semakin sedikit, dan penyakit menyebar dengan cepat. Anak-anak menderita campak dan hepatitis, sementara orang dewasa menderita diabetes dan tekanan darah tinggi,” ujarnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Wabah kelaparan di Gaza semakin mengkhawatirkan. Banyak warga yang terpaksa menelan pil pahit dengan mengonsumsi pakan ternak sebagai satu-satunya cara bertahan hidup. Situasi ini menjadi sorotan internasional karena menunjukkan betapa keputusasaan mereka dalam menghadapi krisis kemanusiaan yang melanda daerah tersebut.
Rizq menjelaskan situasi memprihatinkan di Gaza, di mana pangan menjadi semakin langka. Selain makanan pokok, pakan ternak juga mulai sulit ditemukan dan harganya melambung tinggi. Menurut Rizq, harga tiga kilogram pakan ternak mencapai USD 219 atau sekitar Rp 3.438.727, jumlah yang tidak terjangkau bagi sebagian besar warga.
Seorang pekerja bantuan medis di Beit Lahia, Mahmoud Shalabi, juga mengatakan orang-orang di sana menggiling biji-bijian yang biasanya digunakan untuk pakan ternak menjadi tepung. Namun, katanya, bahan tersebut sudah habis.
Situasi kelaparan yang menjalar di Gaza membuat penduduk terpaksa mencari cara bertahan hidup dengan mengonsumsi hal-hal yang sebelumnya belum pernah terbayangkan.
Dengan situasi sulit seperti sekarang, orang-orang di Gaza terpaksa mencari cara baru untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari.
“Orang tidak menemukannya di pasar,” ujar seorang warga Gaza. “Saat ini alat ini tidak tersedia di bagian utara Gaza dan Kota Gaza.”
Dia juga menyebutkan bahwa stok makanan kaleng telah habis. Tidak ada lagi yang bisa dimakan oleh penduduk setempat.
“Apa yang kami dapatkan sebenarnya berasal dari enam atau tujuh hari gencatan senjata (pada bulan November) dan bantuan apapun yang diizinkan masuk ke utara Gaza sebenarnya telah dikonsumsi sekarang. Apa yang dimakan orang-orang saat ini pada dasarnya adalah nasi, dan hanya nasi,” ujarnya.
Ibu empat anak di Beit Lahia, Duha al-Khalidi, mengungkapkan kesedihannya. Dengan langkah lesu, dia berjalan sejauh 9,5 km ke rumah saudara perempuannya di Kota Gaza, dalam keadaan putus asa mencari makanan karena anak-anaknya tidak makan selama tiga hari.
“Saya tidak punya uang, dan kalaupun saya punya, tidak ada apa-apa di pasar utama kota ini,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Di tengah krisis pangan yang melanda Gaza, kesulitan semakin dirasakan oleh warga setempat. Kondisi ini memaksa mereka untuk mengonsumsi pakan ternak sebagai upaya bertahan hidup. Adalah benar adikku dan keluarganya, mereka juga menjadi korban kelaparan. “(Adikku) dan keluarganya juga menderita. Dia membagikan pasta terakhir yang ada di rumahnya kepadaku,” cerita seorang sumber terpercaya.
Sejauh ini, kehidupan di Gaza semakin menegangkan. Bukan hanya masalah konflik, tapi juga krisis kemanusiaan yang merajalela. Penghuni Gaza terpaksa bertahan hidup dengan cara-cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah dengan mengonsumsi pakan ternak sebagai makanan sehari-hari.
Melihat situasi yang semakin memprihatinkan, banyak warga seperti Waad yang merasa bahwa kematian sudah mengintai di setiap sudut. Ketakutan dan rasa putus asa melanda, ketika rumah tak lagi aman dan persediaan makanan semakin menipis.
“Kami merasa kematian tidak bisa dihindari. Kami kehilangan lantai atas rumah kami, namun kami masih tinggal di sini meski takut runtuh. Selama dua minggu, kami tidak dapat menemukan apa pun di pasar; dan jika beberapa produk tersedia, harganya 10 kali lipat dari harga normalnya,” ujar Waad.
Keluarga di wilayah utara Gaza juga kesulitan mendapatkan pasokan air yang dapat diandalkan. Mereka mengatakan air hanya diberikan sekali dalam 15 hari dan rasanya asin serta terdapat pasir di dalamnya.
Part 24: Sebagai akibat dari blokade yang berkepanjangan, pasokan air bersih di Gaza semakin langka. “Saat ini, kami harus berbagi air yang kami dapatkan dari sumur dengan hewan ternak,” ujar Siti Hawa, seorang ibu rumah tangga.
“Kami sangat prihatin dengan kondisi ini, tapi tidak ada pilihan lain. Anak-anak juga harus minum air ini,” tambahnya sambil menangis.
Hasil pemeriksaan terkini dari PBB menunjukkan bahwa tingkat malnutrisi akut pada anak-anak usia 6-59 bulan di Gaza telah meningkat drastis menjadi 16,2%. Angka ini melebihi ambang batas kritis sebesar 15% yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Situasi mencekam terus berlanjut di Jalur Gaza akibat serangan mematikan yang dilancarkan Israel sebagai respons terhadap serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober lalu. Lebih dari 30 ribu jiwa dilaporkan tewas dalam konflik ini, sementara kehancuran massal dan kekurangan bahan pokok semakin merajalela di wilayah tersebut. Di sisi lain, diperkirakan hampir 1.200 warga Israel juga menjadi korban dalam bentrokan ini.