Menyikapi Gerakan Boikot Produk Israel

indotim.net (Rabu, 17 Januari 2024) – Serangan besar dadakan yang dilakukan Hamas terhadap Israel pada pekan pertama Oktober 2023 lalu telah diikuti dengan serangkaian penyerangan dan pengepungan di Gaza oleh pihak Israel. Serangan balasan Israel yang bertujuan untuk membubarkan militan Hamas ini telah mengakibatkan kematian ribuan warga Palestina di Gaza, termasuk perempuan dan anak-anak yang tak bersalah. Hingga akhir Desember 2023, seruan mayoritas negara di dunia agar Israel segera menghentikan perang dan melakukan gencatan senjata dengan Palestina tidak diindahkan. Kondisi ini membawa gerakan boikot (Boycott), divestasi (Divestment), dan sanksi (Sanctions) kepada Israel (disingkat BDS) kembali mencuat dan diperbincangkan oleh masyarakat dunia, termasuk di Indonesia.

Sebagian masyarakat Indonesia giat mengampanyekan BDS sebagai bentuk ekspresi solidaritas terhadap bangsa Palestina. Lalu, apa itu BDS? Secara sederhana, BDS adalah gerakan protes global tanpa kekerasan. Melalui gerakan ini, para pendukung BDS berupaya menggunakan boikot ekonomi dan budaya terhadap Israel, serta menuntut divestasi keuangan dari negara-negara dan memberlakukan sanksi pemerintah dan institusi global untuk menekan pemerintah Israel agar mematuhi hukum internasional dan menghentikan kebijakan kontroversialnya terhadap Palestina. Gerakan BDS terinspirasi langsung dari perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan dan gerakan hak asasi sipil di Amerika Serikat (AS), keduanya berhasil menggunakan boikot sebagai strategi politik utama.

Para pendukung gerakan BDS berpendapat bahwa terdapat banyak kesamaan yang mencolok antara apartheid di Afrika Selatan dan pendudukan serta genosida terhadap bangsa Palestina oleh Israel, sehingga hal ini harus segera dihentikan.

Dalam kajian ilmu politik, gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan boikot terhadap Israel ini bisa dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik. Salah satu bentuk partisipasi politiknya adalah partisipasi konsumerisme (Theocharis dan van Deth, 2017). Dalam bentuk partisipasi politik ini, konsumen dapat mengekspresikan pendapat politik mereka terhadap pasar, seperti membeli atau tidak membeli produk tertentu karena alasan politik, nilai, atau etika.

Di titik ini, saya tergerak untuk menjawab dua pertanyaan mendasar dari fenomena yang ada belakangan ini. Pertama, apa yang membuat seseorang tergerak untuk terlibat dalam gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), terutama dengan memboikot produk-produk yang terafiliasi mendukung Israel, di Indonesia? Kedua, apakah gerakan boikot ini mampu efektif dalam mengubah situasi krisis di Palestina?

READ  5 Kecamatan di Kabupaten Bandung Yang Terkena Banjir

Memahami Konsumerisme Politik

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, boikot yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia terhadap produk perusahaan yang dianggap mendukung rezim zionis Israel merupakan salah satu bentuk konsumerisme politik. Konsumerisme politik dapat didefinisikan sebagai penggunaan pasar sebagai sarana politik melalui empat tindakan yang berfokus pada kepedulian politik, etika, lingkungan, serta motivasi untuk tindakan pribadi dan kolektif. Keempat tindakan tersebut antara lain:

  1. Boikot, yakni menolak membeli produk dan merek tertentu serta berkomitmen untuk tidak membelinya;
  2. Buycotting, yaitu sengaja membeli produk dan merek tertentu sebagai bentuk dukungan;
  3. Upaya diskursif, yang melibatkan pembahasan mengenai peran produksi dan konsumsi dalam masyarakat serta pembangunan sosial; dan
  4. Perubahan gaya hidup, yang melibatkan perubahan praktek dan standar hidup individu atas dasar alasan politik, etika, dan/atau lingkungan (Stolle dan Micheletti, 2013).

Dalam dua bulan terakhir sejak dimulainya eskalasi perang di Gaza, kita merasakan bahwa gerakan boikot produk Israel telah menyebar dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia, meskipun dalam tingkat yang berbeda-beda. Ada individu atau kelompok yang hanya melakukan boikot semata, namun ada juga sebagian kecil yang berkomitmen untuk melaksanakan keempat tindakan tersebut. Akan tetapi, dalam praktiknya di masyarakat, terkadang masih belum jelas produk-produk dari perusahaan mana yang sebenarnya harus diboykot.

Sebagian individu telah beralih dari mengonsumsi kopi di Starbucks menjadi mendukung kafe lokal. Ada juga yang tidak lagi mengonsumsi makanan di McDonald’s, Burger King, atau Pizza Hut saat berlibur dengan keluarga di mal, melainkan memilih produk ayam goreng dan roti dari merek lokal. Di sisi lain, beberapa generasi muda perkotaan di Indonesia yang sebelumnya berlangganan hiburan dari Disney mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi menonton seri/film yang diproduksi perusahaan tersebut. Bahkan, beberapa keluarga telah membuat daftar produk rumah tangga yang dihasilkan oleh Unilever dan berkomitmen untuk tidak membelinya kembali, sambil mencari alternatif produk di pasaran.

READ  BP2MI Sorot Sindikat Penempatan Ilegal PMI yang Masih Beroperasi

Pada saat yang sama, di media sosial Gerakan Masyarakat Indonesia untuk Boikot, Divestasi, dan Sanksi terhadap Israel pun digaungkan. Akun @gerakanbds di Instagram, misalnya, membuat sejumlah publikasi untuk mengajak netizen Indonesia berpartisipasi dalam gerakan yang sama. Hal itu dijelaskan melalui berbagai argumentasi, yang intinya adalah para pendukung gerakan ini berharap agar perusahaan-perusahaan segera menarik dukungan mereka terhadap Israel, termasuk berhenti menyalurkan dana secara langsung maupun tidak langsung ke pihak Israel. Gerakan ini semakin mendapat dukungan setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa No.83 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Salah satu poin dalam fatwa ini menyatakan bahwa haram hukumnya mendukung agresi Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti mengonsumsi produk perusahaan yang memberikan keuntungan untuk Israel.

Mengapa Seseorang Mengikuti Gerakan BDS?

Saya melihat ada dua hal yang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, para pendukung BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi) tergerak oleh norma, nilai, dan pedoman universal yang mereka yakini. Beberapa nilai tersebut termasuk pentingnya menghormati nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, dalam konteks Palestina-Israel, prinsip kesetaraan agama juga menjadi relevan untuk dipertimbangkan. Secara umum, ada tiga hal yang menyatukan individu dan kelompok yang berbeda di Indonesia dalam gerakan BDS, yaitu: (1) keinginan agar Israel mengakhiri pendudukan mereka di wilayah Palestina seperti Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur; (2) harapan agar Israel memberikan hak-hak penuh kepada warga Palestina; dan (3) harapan agar pengungsi Palestina dapat kembali ke rumah dan tanah mereka.

Alasan kedua yang relevan terkait mengapa masyarakat Indonesia ikut serta dalam gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap produk Israel adalah karena individu atau kelompok yang peduli dengan konflik ini menganggap solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dan lembaga internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak memadai. Akhirnya, gerakan BDS dianggap sebagai salah satu cara terbaik bagi warga negara dan konsumen global untuk menunjukkan dukungan terhadap Palestina melalui kekuatan pasar.

READ  Kejadian Carok Massal di Bangkalan Madura, Sejumlah Korban Meninggal

Kekuatan institusi global, seperti PBB, yang terbatas, minimnya dukungan dari negara-negara Arab dan negara-negara Muslim lainnya sebagai tetangga Palestina, serta pengaruh yang kuat dari Israel di sektor ekonomi dan politik, telah menimbulkan kekecewaan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi penyebab terbentuknya gerakan yang melibatkan instrumen pasar sebagai bentuk protes.

Apakah Gerakan Boikot Produk Israel Efektif?

Di Indonesia, gerakan BDS telah memaksa sejumlah perusahaan untuk memberikan klarifikasi mengenai entitas bisnis mereka yang diklaim terpisah dari entitas di negara asal. Mereka juga mengadakan acara simbolik pemberian bantuan yang dikirimkan ke Palestina melalui lembaga amal tertentu. Di beberapa gerai makanan yang produknya masuk daftar boikot, perusahaan tersebut memasang spanduk acara pemberian donasi dengan ukuran besar di pintu masuk untuk meyakinkan konsumen Indonesia bahwa bisnis mereka mendukung Palestina.

Sementara itu, karyawan-karyawan dari beberapa perusahaan multinasional yang memproduksi barang sehari-hari (FMGC) tampak sibuk berkomentar di media sosial dalam rangka menetralisasi isu miring yang menerpa perusahaan mereka. Beberapa netizen yang menentang gerakan BDS juga menyebut bahwa gerakan ini justru kontra-produktif karena dapat merugikan karyawan lokal yang terancam di-PHK akibat menurunnya keuangan perusahaan yang diboikot. Beberapa entitas bisnis bahkan telah mengalami penurunan keuntungan, bahkan kerugian, akibat gerakan BDS ini.

Sayangnya, hingga saat ini gerakan BDS di Indonesia dan di belahan dunia lainnya belum mampu menghentikan agresi militer Israel di Palestina, terutama di Gaza. Menurut pendapat saya, meskipun begitu, gerakan boikot tidak dapat berdiri sendiri dalam menangani konflik yang berkepanjangan dan penuh kepentingan di Palestina.

Gerakan BDS tidak akan berdampak signifikan jika negara-negara dunia dan lembaga internasional yang memiliki kewenangan, sumber daya, dan akses lebih baik terhadap kebijakan gagal merumuskan solusi yang adil dan permanen bagi Palestina. Meskipun demikian, gerakan BDS tetap perlu dihargai dan dipertimbangkan sebagai bentuk ekspresi dukungan terhadap nilai dan norma yang diyakini oleh individu.

Ari Putra Utama alumnus S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia