indotim.net (Rabu, 17 Januari 2024) – Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta, Fahira Idris, menyoroti isu ketahanan bencana yang tidak menjadi subtema dalam debat Capres-Cawapres Pilpres 2024. Menurutnya, isu ini penting untuk diangkat karena kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis Indonesia yang rawan bencana.
“Saya berharap saat debat, semua cawapres memaparkan gagasannya tentang reformasi sistem ketahanan bencana menuju Indonesia yang tangguh dalam menghadapi bencana. Hal ini karena ketahanan bencana masih terkait erat dengan subtema pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup,” ungkap Fahira dalam keterangan tertulis, Rabu (17/1/2024).
Menurut Fahira Idris, isu ketahanan bencana terus menjadi tantangan besar bagi bangsa ini. Indonesia tidak hanya rawan terhadap berbagai jenis bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan, tetapi juga sangat rentan terhadap berbagai ancaman bencana non-alam.
Fahira Idris memberikan beberapa contoh bencana non-alam, seperti kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakaan transportasi, pencemaran lingkungan, hingga epidemi dan wabah penyakit seperti yang baru saja terjadi, yaitu pandemi COVID-19.
“Isu ini penting untuk disinggung mengingat Indonesia tidak hanya rentan terhadap ancaman bencana alam, tetapi juga bencana non-alam, termasuk wabah penyakit. Bahkan, beban bencana dapat menjadi lebih besar dengan krisis iklim yang telah menyebabkan kekeringan, kebakaran hutan, dan badai yang melanda Indonesia,” terangnya.
Fahira menjelaskan bahwa tingginya frekuensi bencana alam di Indonesia dapat dilihat dari data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selama periode 1-16 Januari 2024, Indonesia telah dilanda oleh 94 bencana hidrometeorologi, terutama banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan bahwa rata-rata terjadi 15 hingga 17 bencana alam setiap hari yang melanda Indonesia sepanjang tahun 2023. Bencana-bencana ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan, kerugian materi, dampak psikologis, dan kerugian ekonomi. Kementerian Keuangan mencatat kerugian akibat bencana di Indonesia mencapai rata-rata Rp 22,85 triliun pada tahun 2021.
Oleh karena itu, ia menegaskan sistem ketahanan bencana perlu direformasi. Hal ini penting untuk menguatkan sistem dan respons peringatan dini serta fokus pada kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana.
“Respons peringatan dini kita masih perlu diperkuat lagi agar lebih terpadu dan tanggap darurat bencana harus terintegrasi dengan sistem ketahanan kesehatan masyarakat. Selain itu, ke depan, pengurangan risiko bencana harus jadi prioritas nasional maupun daerah,” papar Caleg DPD RI Dapil DKI Jakarta ini.
“Semua kelembagaan terkait bencana bukan hanya harus solid, tetapi juga harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan inovasi agar siap menghadapi bencana di semua tingkatan,” ungkap Fahira Idris.
Kesimpulan
Isu ketahanan bencana menjadi perhatian Fahira Idris dalam debat Capres-Cawapres Pilpres 2024, yang menyoroti pentingnya pembangunan sistem ketahanan bencana yang tangguh di Indonesia. Fahira Idris menjelaskan bahwa Indonesia tidak hanya rawan terhadap bencana alam, tetapi juga bencana non-alam seperti kebakaran hutan, kecelakaan transportasi, pencemaran lingkungan, dan wabah penyakit seperti COVID-19. Tingginya frekuensi bencana alam di Indonesia, yang ditunjukkan oleh data BNPB, menunjukkan perlunya reformasi sistem ketahanan bencana untuk mengurangi risiko dan melakukan respons peringatan dini yang tanggap. Semua kelembagaan terkait bencana harus solid dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan inovasi untuk menghadapi bencana di semua tingkatan.