indotim.net (Minggu, 03 Maret 2024) – Polisi telah menetapkan 12 orang sebagai tersangka kasus perundungan (bully) di SMA Internasional. Muncul usulan agar kasus tersebut diselesaikan secara diversi, namun pihak keluarga korban menolak.
Pemerintah, melalui KemenPPPA, mendorong Polres Tangerang Selatan (Tangsel) untuk melakukan upaya diversi dalam kasus bullying ini. Hal ini dikarenakan kasus tersebut melibatkan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).
“Anak yang terlibat konflik hukum harus mendapatkan bantuan hukum serta hak pendidikan. Kami mendukung Polres Tangsel dalam mengusahakan diversi sesuai dengan UU sistem peradilan pidana anak karena ancaman hukumannya kurang dari 7 tahun,” ujar Plt Asisten Deputi Bidang Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kemeterian PPPA, Atwirlany Ritonga, dalam konferensi pers di Polres Tangsel, Jumat (1/3/2024).
Atwirlany sangat berharap agar aturan diversi segera diterapkan dan upaya penyelesaian kasus dilakukan dengan cepat. Selain itu, dia juga mengimbau masyarakat untuk tidak mengungkapkan identitas baik korban maupun pelaku.
“Mari kita berharap agar proses diversi dapat segera dilakukan. Saya juga ingin mengajak masyarakat dan rekan media untuk menghindari publikasi ulang mengenai identitas anak korban dan anak yang terlibat dalam konflik hukum,” ucap narasumber.
Atwirlany juga memberikan apresiasi atas kinerja Polres Tangsel yang telah melakukan upaya hukum sampai saat ini. Koordinasi terus dilakukan antara pihaknya dengan Polres Tangsel.
Menurut Wakil Bupati, “Apresiasi terhadap kinerja Polres Tanggsel yang telah melaksanakan proses hukum dan menetapkan tersangka serta anak yang terlibat konflik dengan hukum bisa diumumkan hari ini.”
Keluarga Korban Tolak Diversi
Berbeda dengan KemenPPPA, kuasa hukum dari korban perundungan yang melibatkan siswa SMA internasional menolak penerapan diversi dalam kasus kliennya. Kuasa hukum tersebut menyatakan bahwa pihak keluarga korban telah mantap untuk terus berjuang sampai ke pengadilan.
“Kami sudah menyepakati bahwa sampai saat ini klien kami akan bertarung sampai proses pemeriksaan dan keputusan di pengadilan,” ungkap Kuasa Hukum Korban, Muhamad Rizki Firdaus, di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, pada Jumat (1/3/2024).
Meski demikian, pemerintah tetap akan melanjutkan langkah-langkah diversi. Pendekatan ini diambil karena diversi merupakan bagian dari prosedur penanganan kasus anak.
“Kami akan menempuh jalur yang sesuai dengan kewajiban formal berdasarkan undang-undang. Mulai dari proses di kepolisian, ke jaksaan, hingga persidangan, semuanya akan kami lakukan,” ujar narasumber.
Dirinya menegaskan bahwa diversi hanya diberlakukan jika pelaku tindak kriminal memiliki status sebagai anak. Namun, dalam kasus perundungan ini, terdapat pelaku yang bukan anak.
“Kita harus memahami dengan benar, undang-undang tidak bermaksud menciptakan perdamaian melalui diversi. Diversi hanya berlaku antara anak dengan anak, jika terduga pelaku tidak termasuk dalam kategori anak, maka diversi tidak dapat dilakukan,” ungkap sumber tersebut.
Sejumlah individu yang telah dijadikan tersangka dikenakan Pasal 76C Jo Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan hasil revisi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta/atau Pasal 170 KUHP. Selain itu, seorang anak yang berperan sebagai saksi turut dikenakan Pasal 76C Jo Pasal 80 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 sehubungan dengan amandemen kedua UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan/atau Pasal 4 ayat (2) huruf d Jo Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau Pasal 170.
Sebelumnya, 7 ABH diduga terlibat dalam Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Dibawah Umur dan/atau Pengeroyokan seperti yang diatur dalam Pasal 76C Jo Pasal 80 UU RI Nomor 35 tahun 2014 yang merupakan perubahan dari UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 170 KUHP.
Kesimpulan
Meskipun pemerintah mendorong penyelesaian kasus bullying di SMA Internasional melalui diversi, keluarga korban menolak dan memilih untuk melanjutkan proses hukum ke pengadilan. Meski terdapat perbedaan pendekatan antara pemerintah dan keluarga korban, langkah diversi tetap dilanjutkan sesuai dengan prosedur penanganan kasus anak, meskipun dalam kasus perundungan ini terdapat pelaku yang bukan anak.