Meraup suara pemilih adalah esensi dari kampanye politik. Para petarung elektoral berdandan, bertindak, dan berkata dengan persuasif. Gimik menjadi pemanis. Kampanye politik tidak teringkari adalah sebuah pertarungan. Dari kacamata ekonomi, ini adalah investasi dengan risiko tinggi. Karena taruhannya besar, tujuannya satu, harus menang (play to win). Lantas, batasan kampanye menjadi tidak jelas. Para petarung rentan abai dengan aturan yang tersurat dalam UU Pemilu No 7 tahun 2017 hingga peraturan KPU. Misal pelanggaran iklan kampanye hingga pemasangan spanduk. Seakan-akan, segala cara menjadi halal, asalkan menang. Padahal, selain aturan yang tersurat, ada substansi kampanye yang harus sampai ke publik. Pemaparan visi dan program kerja harus menjadi tema besar yang disajikan ke hadapan para pemegang hak suara. Namun, seringkali substansi yang esensial digeser sensasi. Olok-olok dengan tema drakor, cemooh dinasti politik, masih menjadi headline di ruang publik. Karena sensasi dominan, gagasan pun menjadi samar dan visi serta program kalah populer. Makna dan esensi kampanye pun menjadi bias.
indotim.net (Selasa, 16 Januari 2024) –
Mendengarkan Rakyat
Esensi masa kampanye politik adalah para calon pemimpin berbicara sekaligus mendengarkan rakyat. Sebab, substansi demokrasi memang rakyat; atau lebih sakleknya mendengarkan rakyat. Demokrasi adalah ketika rakyat bicara; (James Fiskin, 2009). Perjumpaan para kandidat dengan rakyat menjadi penting sebab kedaulatan itu ada pada rakyat (Jean-Jacques Rousseau 1712 – 1778).
Rakyat menyampaikan kepada para kandidat apa yang mereka inginkan dan pikirkan. Para kandidat menyatakan janji, komitmen mereka untuk berjuang. Dalam percakapan itulah, ide-ide yang samar akan menjadi jelas dan gagasan yang abstrak akan diterjemahkan ke dalam program kerja yang konkret.
Kampanye lantas dipahami sebagai sebuah ruang diskursus. Gagasan akan digugat, ide akan diuji, dan setiap jawaban akan dinilai. Kampanye perlu didefinisikan seperti itu. Sebuah perlombaan yang jujur, suatu pertarungan yang adil. Memang, akan ada ketegangan, sindiran, dan olok-olok. Tapi hendaknya yang menjadi dominan adalah perdebatan gagasan dan program.
Tentu, ketika kampanye terdapat tiga kategori massa; pendukung kandidat, pendukung lawan, dan swing voters (belum menentukan pilihan). Maka para kandidat tidak hanya merapatkan barisan pendukungnya tetapi juga menarik minat para swing voters; dan bahkan mempengaruhi pendukung lawannya.
Lagi pula, karena substansi politik demokrasi adalah rakyat, maka inheren di dalamnya martabat manusia dan etika wajib dijunjung. Etika politik, kata Magnis Suseno (Etika Politik, 2018), memberikan orientasi dan pegangan normatif kepada politisi untuk menilai tatanan kehidupan politik dengan martabat manusia sebagai tolak ukur.
Isu Strategis
Pembahasan isu strategis jadi konsekuensi kampanye politik sebagai ruang diskursus. Kini, isu keberlanjutan dan perubahan menjadi pikiran utama dalam narasi kampanye para kandidat. Anies-Muhaimin menggubah tema “perubahan”, sementara Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud mengusung konsep “keberlanjutan”. Itu adalah dua arus besar isu kampanye dari arah tiga kandidat. Maka akan relevan jika kita sajikan isu strategis dari arah pemilih.
Pertama, ekonomi, khususnya isu ketenagakerjaan. Data Badan Pusat Statistik per Agustus 2023 terdapat sekitar 7,86 juta jiwa angka pengangguran; dengan sekitar 60 persen kategori pemuda (generasi Z dan milenial). Isu ketenagakerjaan menjadi penting mengingat sekitar 113 juta dari 205 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah pemilih muda. Ini adalah persoalan besar. Fakta surplus demografi malah menjadi malapetaka ekonomi. Ujungnya, masalah pengangguran, kemiskinan, akan berimplikasi pada persoalan sosial. Maka siapa pun presidennya, kita membutuhkan komitmen yang serius untuk isu ketenagakerjaan. Bagaimana kekuasaan yang akan datang itu bekerja mengentas masalah ini?
Kedua, persoalan hukum dan korupsi di Indonesia seperti kanker. Rumah sakit khusus korupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak cukup daya untuk mengobatinya. Selain korupsi, persoalan hukum lain yang melibatkan institusi dan penegak hukum perlu menjadi perhatian para kandidat. Kasus Ferdi Sambo, Teddy Minahasa hingga transaksi janggal 300-an Triliun di Kementerian Keuangan, hanyalah puncak gunung es betapa buruknya tata hukum kita.
Ketiga, isu lingkungan. Isu ini merupakan isu global kontemporer. Pemanasan global, perubahan iklim, menipisnya lapisan ozon hingga kemarau panjang adalah rentetan pokok-pokok isu ini. Para capres-cawapres perlu memprioritaskan lingkungan hidup sebagai basis kebijakan terutama dalam konteks pembangunan. Menjadi catatan, dalam paparan visi-misi ketiga kandidat, terdapat substansi lingkungan hidup. Namun sejauh mana mereka memahami keterkaitan antar partial isu serta program lingkungan, perlu digali di dalam perdebatan mendatang.
Keempat, kebangsaan dan nasionalisme. Bangsa ini memiliki jejak sejarah konflik nan traumatis. Konflik sosial berbasis SARA seperti Poso, Ambon, hingga Sampit beberapa kali nyaris mengoyak persatuan. Kita perlu secara jujur, terbuka membicarakan pelbagai kerentanan itu. Sejarah berkisah, berapa konflik itu terjadi karena kepemimpinan yang tidak tegas dan tidak adanya dialog keterbukaan.
Warisan Demokrasi
Dalam persaingan politik, pasti akan ada tensi, ketegangan dan kelegaan, gembira dan sedih. Lega dan